AYAT – AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH
AYAT – AYAT
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Oleh : Kikin Al-Kindy Assyahali
Fakultas Pascasarjana UIN Sultan Maulana Hasanuddin
Banten
Prodi Manajemen Pendidikan Islam. (A)
Abstrak
Al Quran telah menjadi pedoman bagi seluruh umat muslim
di dunia. AlQuran tidak bisa diperbandingkan dengan kitab-kitab Nabi sebelumnya
yang telah diturunkan oleh Allah. Oleh karena itu ia menjadi mukjizat terbesar,
teragung, terindah sepanjang masa dalam dinamika kehidupan manusia. Bahkan
dengan mukjizatnya, Al Quran menjadi landasan prinsip hidup, filosofi hidup
yang relevan serta tak pernah kunjung padam meski harus senantiasa bergesekan
dengan alur pikir manusia yang selalu berkembang. Hal itu bisa dibuktikan
dengan semakin percaya manusia pada setiap huruf, lafad, kalimat yang teruntai dengan
logika bahasa, sehingga yakin akan kebenarannya. Namun dalam memahami al Quran,
manusia khususnya umat muslim masih menemukan kesulitan dalam memahami arti
secara benar, sebab didalamnya terdapat ayat-ayat yang masih memerlukan
penjelasan lebih lanjut. Dalam kajian studi Islam hal tersebut biasa disebut
dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat. Dalam memahami kedua masalah tersebut
para ulamapun banyak berselisih pendapat, meskipun pada subtansinya sama-sama
benar, hanya caranya yang berbeda.
Keywords: muhkam, mutashabihat,
miracle
Pendahuluan
Betapa indah gambaran Muhammad Arkoun dalam
menjelaskan Al-Qur’an. Sepanjang zaman Al-Qur’an akan selalu mengalami
perkembangan penafsiran (interpretasi baru) sesuai background sang penafsir.
Pendapat Muhammad Arkoun di atas, dapat
kita buktikan dalam salah satu kajian Ulumul Qur’an, yaitu tentang Muhkam dan Mutasyabih. Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial
sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara
ulama mengenai hakikat Muhkam dan Mutasyabih.
Dalam Al-Qur’an, memang disebutkan
kata-kata Muhkam dan Mutasyabih. Pertama, lafal Muhkam , terdapat dalam Q.S. Hud [11]: 1
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه....
Terjemahan: Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan)
ayat-ayatnya....
Kedua, lafal Mutasyabih
terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
...كِتَابًا مُتَشَـابِهًا مَّـثَانِيْ....
Terjemahan : …(yaitu) Al-Qur’an yang serupa (Mutasyabih) lagi berulang-ulang....
Ketiga, lafal Muhkam dan Mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali
Imran [3]: 7:
هُوَ
الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ
و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى
قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ
وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله
ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ
رَبِّنَا…
“Dialah yang telah
menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat Muhkamat yang merupakan induk dan lainnya Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari
ta’wilnya1 padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman
kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami”...
Berdasarkan tiga
ayat tersebut, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang
masalah ini. Pertama berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya Muhkam berdasarkan
ayat pertama. Kedua berpendapat
bahwa Al-Qur’an seluruhnya Mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat
Al-Qur’an Muhkam dan lainnya Mutasyabih berdasarkan ayat ketiga. Inilah pendapat
yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan dengan Muhkam-nya Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya
pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud Mutasyabih dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi
kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya.2
Pembahasan
1. Makna secara Lugawi
(bahasa)
Muhkam secara lugawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih
perkara, maka hakim adalah orang yang
mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan Muhkam
adalah sesuatu yang
dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil.[1]
Mutasyabih secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni
bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal
itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara
keduanya secara konkrit atau abstrak.[2]
a. Makna secara Istilah
Banyak
sekali pendapat para ulama tentang pengertian Muhkam dan Mutasyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara
definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1). Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata
yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya),
tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan
inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat,
huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih
al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada
pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2). Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya,
baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang
mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf
yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli
sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3). Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu
kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat
ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4). Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak
memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan
tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain
pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan
dari Imam Ahmad. r.a.
5). Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya
yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak
terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya.
Lafal musytarak masuk ke dalam Mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini
dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6). Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk
kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih
ialah lawannya Muhkam atas ism-ism
(kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah
(samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7). Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat,
yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya
tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat
ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.[3]
Subhi
ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa Muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas,
dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.[4]
2. Kriteria
Ayat-ayat Muhkamat
dan Mutasyabihat
Perbedaan
pengertian Muhkam dan Mutasyabih yang telah disampaikan para ulama di
atas, nampak tidak ada kesepakatan yang jelas antara pendapat mereka tentang Muhkam
dan Mutasyabih,
sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk Muhkam dan Mutasyabih.
J.M.S Baljon,
mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat
Muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan),
sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat).[5]
Ali Ibnu
Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat Muhkamat sebagai berikut, yakni ayat-ayat yang membatalkan
ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan,
ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan.[6] Sedangkan ayat-ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan,
ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat
yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang
boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Ar-Raghib
al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat Mutasyabihat sebagai ayat atau lafal yang tidak
diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an
yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat Muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu
penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya
tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang
dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya
Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah
pengetahuan tentang ta’wil kepadanya. [7]
Muhkam menyangkut soal hukum-hukum (faraid), janji, dan ancaman, sedangkan Mutasyabih mengenai kisah-kisah dan perumpamaan.[8]
Ahmad
Syadali dan Ahmad Rofi’i meringkas ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam
Al-Qur’an.
a. Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal
Contoh: Q.S. Abasa [80]: 31
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
Terjemahan: Dan
buah-buahan serta rumput-rumputan.
Lafal أَبٌّ di sini
Mutasyabih karena ganjilnya dan
jarangnya digunakan. kata أَبٌّ
diartikan rumput-rumputan
berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :
Q.S. Abasa [80]: 32 yang
berbunyi:
مَتَاعًا
لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ
Terjemahan: Untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu.
Ar-Raghib al-Asfhani membagi Mutasyabihat dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad
dan murakkab. Mutasyabih lafal mufrad adalah tinjauan
dari segi kegaribannya, seperti kata yaziffun, al-abu; Isytirak, seperti kata al-yadu, al-yamin.
Tinjauan lafal murakkab berfaedah untuk
meringkas kalam, seperti: wa in khiftum alla tuqsitu fil yatama fankhihu ma taba
lakum...., untuk meluruskan kalam, seperti: laisa kamis|lihi syai’un, untuk mengatur kalam, seperti: anzala
‘ala ‘abdihil kitaba walam yaj’al lahu
‘iwaja..[10]
b. Disebabkan oleh
ketersembunyian pada makna
Contoh: Q.S.
al-Fath [48]: 10.
...يَدُ اللهِ فَوْقَ
اَيْدِيْهِمْ….
Terjemahan: ...tangan Allah di atas tangan [12]
mereka....
c. Disebabkan oleh
ketersembunyian pada makna dan lafal
Ditinjau
dari segi kalimat, seperti umum dan khusus, misalnya uqtulul
musyrikina, dari segi cara, seperti wujub dan nadb,
misalnya, fankhihu ma taba lakum minan nisa, dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh,
misalnya, ittaqullah haqqa tuqatihi, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan kata
lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu
dilakukan bangsa Arab.[13] Seperti,
laisal birru bian ta’tul buyuta min zuhuriha, segi syarat-syarat yang mengesahkan dan
membatalkan suatu perbuatan, seperti syarat-syarat salat dan nikah.[14]
4. Pembagian
ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an
a. Ayat-ayat yang
seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan
tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat
dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59
وَعِنْدَه مَفَـاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهُا اِلاَّ هُوَ....
Terjemahan : Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri....
b. Ayat-ayat yang setiap
orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti
ayat-ayat Mutasyabihat yang kesamarannya
timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S.
an-Nisa’[4]: 3
وَاِنْ
خِفْـتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ....
Terjemahan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi....
Maksud ayat ini tidak jelas
dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal
berbunyi :
وَاِنْ خَفْـتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا تَـزَوَّجْـتُمْ
بِهِنَّ فَانْكِحُوْا مَاطَابَ
لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ....
Terjemahan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini
mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.
c. Ayat-ayat Mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para
ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Inilah yang
diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ
فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Terjemahan: Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang
yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.
5.
Sikap Ulama Menghadapi Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam
Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat Mutasyabihat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah.
Contohnya Surah ar-Rahman [55]: 27:
وَيَبْقى
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
Terjemahan: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Q.S.
Taha [20]: 5 Allah berfirman
:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
Terjemahan: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam
di atas 'Arsy.[16]
Dalam hal
ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.[17]:
a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan
mengimani sifat-sifat Mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan
Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan
mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan
mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula
mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang
makna istiwa`, dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ
وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ
السُّوْءَ
اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.
Terjemahan: Istiwa` itu maklum, caranya tidak
diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau
ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksudnya,
makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan
tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat.
sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan
Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’
di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui
maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga
didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا
بِه
Terjemahan: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah
dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan
oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).[18]
b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang
menkwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat
Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka
memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa
pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah
diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan
Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah,
“wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan
“diri” dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. [19]
Alasan
mereka berani menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan
adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan
manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin
mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk
melakukannya.[20]
Kelompok
ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan
dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat
Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ
وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـا
مِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ
تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
Terjemahan: “dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: :
Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui
takwilnya.(H.R. Ibnu
al-Mundzir)[21]
Disamping
dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id
mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id
berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak
memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan
Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Adapun
penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab
khalaf. Karena pendapat mazhab
khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin
hari semakin berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh
orang-orang yang benar-benar tahu isi Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an
adalah ar-rasikhuna fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas.
Sejalan
dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih
aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang
menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat
mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.[22]
6.
Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Ada pepatah
yang mengatakan, khudil hikmata min ayyi wi’ain kharajat, ambillah hikmah dari manapun keluar. Begitu pun dalam masalah Muhkam dan Mutasyabih. Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya
ada tiga hikmah yang dapat kita ambil dari persoalan Muhkam dan Mutasyabih tersebut, hikmah-hikmah itu adalah:
a. Andaiakata seluruh
ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat Muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan
amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
b. Seandainya seluruh
ayat Al-Qur’an Mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai
penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa
Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti
hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
لاَ
يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ
حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Terjemahan: Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an)
kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan
yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Q.S. Fussilat [41]: 42)
c. Al-Qur’an yang berisi
ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk teus
menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari
taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
[23]
Menurut
Yusuf Qardhawi, adanya Muhkam dan Mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah,
bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang
mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap
bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal
suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash,
dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada
orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan,
ada manusia intelek dan manusia spiritual.[24]
Kalau
hikmah ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan, setidaknya Allah telah
mengajarkan ”ajaran” Muhkam dan Mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui adanya perbedaan karakter pada setiap
individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai guru, sudah
sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan pelajaran
yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam kecerdasan dan
karakter.
Simpulan
Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya,
sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan pentakwilan. Sedangkan
mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan
baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu. Ayat-ayat mutasyabih
adalah merupakan salah satu kajian dalam al-qur’an yang para ulama menilainya
dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf. Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu
Muhkam. Jika maksud Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula
mengatakan bahwa semua ayat itu adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu
adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal Balaghah
dan I’jaznya.
Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih adalah dua hal yang saling melengkapi
dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi
sebagai bayan (penjelas) dan hudan (petunjuk). Mutasyabih sebagai ayat yang tersirat merupakan
bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat dan kitab sastra terbesar[25]
sepanjang sejarah manusia yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan di
teliti. Sebagai ummat Islam
hendaknya kita lebih merenungi lagi maksud-maksud Allah menurunkan ayat-ayat
tersebut dalam bentuk yang berlainan. Dan menjadikannya pedoman dalam seiap
langkah kita.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Digital
Abdussalam, Abdul Majid. 1997. Visi
dan Paradigma Tafsir Al Quran Kontemporer. Bangil: al Izzah
Al
Qotton, Manna Khalil. 1994. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran. Bogor:
Litera Antar Nusa.
Al
Saleh, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Al Quran. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Al
Farmawi, Abd.Hayy. 2002. Metode Tafsir Maudhu’iy.
Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Ash
Shiddieqy, M. Hasbi. 1993. Ilmu-Ilmu Al Quran. Jakarta: Bulan
Bintang.
Al Zarqony. 1998. Manahil al Irfan fi
Ulumil al Quran. Beirut Lebanon: Darul Kitab al Arobi.
Chirzin,
Muhammad. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa.
Dahlan,
Zaini, dkk.1991. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Syadali,
Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. 2000.
Ulumul Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka Setia
Qardhawi,
Yusuf. 1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta:
Rabbani Press.
Wikipedia.2006.Muhkam-Mutasyabih.http://id.wikipedia.org/wiki/ Muhkam-Mutasyabih. Diakses 30 September 2011 pukul
12.50-17.20
1 Ta’wil berasal dari kata kerja awwala–yuawwilu-ta’wil yang
berarti “kembali”. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an dari sudut bahasa berarti
mengembalikan makna ayat kepada apa yang dikehendakinya. ( Zaini Dahlan,
dkk. 1991. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, hal. 52. Adapun takwil dalam ayat tersebut artinya interpretasi
sendiri. (ibid, hal. 52).
[1] Muhammad Chirzin. 2003. Al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, hal. 70.
[4] Muhammad Chirzin, op.cit,
hal. 71 atau baca bukunya Subhi ash-Shalih. 1995. Membahas Ilmu-ilmu
Al-Qur’an, terjemah: Team Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal.
171-174.
[5] Ibid, hal. 73, atau baca J.M.S. Baljon. 1991. Tafsir Qur’an Muslim Modern,
terjemah: Ni’amullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal. 11-13.
[6] Ibid, hal. 73 atau baca Syamsurizal Panggabean, Makna muh}kam dan Mutasya>bih dalam Al-Qur’an, makalah disampaikan dalam diskusi
Al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 5 maret 1989, hal 3-4.
[10] Muhammad Chirzin, op.cit. hal. 74.
[12]Orang yang berjanji setia
biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah
meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. jadi maksud tangan
Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan
Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. jadi seakan-akan Allah di
atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah
Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya. (Digital
Al-Qur’an)
[13] Yusuf Qardhawy.1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah
Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press. Hal. 223
[14] Muhammad Chirzin, op.cit., hal. 74.
[15] Ahmad Syadali
dan Ahmad Rofi’I, op.cit, hal. 206.
[16] Bersemayam di atas 'Arsy
ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan
kesucian-Nya.(Digital al-Qur’an)
[18] Ibid, hal. 216-217.
[19] Ibid, hal. 217-218
[20] Ibid, hal. 128
[21] Ibid, hal. 219
[22] Ibid, hal 222
[23] Muhammad chirzin, Op.cit. hal. 74-75
[24]Yusuf Qardhawy.1997. Op.cit. hal. 226
[25] Meminjam istilah M.Nur Kholis Setiawan dalam bukunya Al-Qur’an
Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: elSAQ, 2005).
Komentar
Posting Komentar