Makalah Poligami
Alwani
Spd
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Poligami
pada dasarnya adalah sebuah akad pernikahan yang sah di kalangan umat islam, karena
poligami di maknai sebagai sunatullah dalam Al- Qur’an dan sunatulrosull dalam
Hadistnya. Namun dalam perakteknya poligami sangat di tentang oleh berbagai
kalangan terutama kaum hawa atau kaum perempuan dengan atas dasar keadilan dan
kurangnya hubungan antara suami dan istri, karna makna sebuah pernikahan adalah
menyatukan dua manusia untuk membina rumah tangga dalam mengarungi kehidupan di
dunia.
Secara
etimologi poligami berasal dari bahasa yunani yaitu apolus yang artinya banyak
dan gamos yang artinya perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan
yang banyak. Secara terminologi poligami adalah sistem perkawinan yang salah
satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.[1]
Walaupun
ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan empat atau bahkan
lebih dari Sembilan isteri. Singkatnya, poligami adalah ikatan perkawinan yang
salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam
waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu
dikatakan bersifat poligami.[2]
Poligami
dalam Islam adalah suatu peraturan yang
ditetapkan berdasarkan perikemanusiaan, dan pertanggung jawaban moral, dari
segi moral, itu memberi kemungkinan bagi seorang lelaki untuk dapat berhubungan
dengan sah, dengan wanita mana saja yang dikehendakinya, dan dalam waktu yang
mana saja. Tetapi di samping keluasan itu, ditetapkan pula bahwa laki-laki
tidak boleh berhubungan dengan wanita lebih dari tiga (3) selain istri yang
pertama.[3]
Sedangkan
menurut Mustofa As Siba’y, Poligami merupakan peraturan yang berdasarkan
perikemanusiaan, karena dengan poligami itu, laki-laki meringankan beban
masyarakat, dengan mengayomi seorang wanita yang tidak ada suaminya dan
memindahkan wanita itu kedalam barisan ibu-ibu yang terpelihara sebagai istri
yang sah.[4]
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka penulis dapat
menyimpulkan beberapa rumusan dalam makalah ini diantaranya:
1.
Apa pengertian poligami..?
2.
Bagaimana pandangan Islam tentang
poligami..?
3.
Bagaimana pandangan ulama tafsir tentang
poligami..?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengurai berbagai
permsalahan yang ada dalam rumusan masalah diantaranya:
1.
Untuk mengetahui pengertian poligami
2.
Untuk mengetahui pandangan Islam tentang
poligami.
3.
Untuk mengetahui pandangan ulama tafsir tentang
poligami.
D.
Sistematika
Penulisan
Dalam tulisan ilmiah ini dapat di urai dalam tiga
Bab, Bab I Pendahuluan, Bab II pembahasan, dan Bab III Penutup atau kesimpulan.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Poligami
Poligami merupakan bahasa asing yang dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia.
Poligami berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yakni ''poly"
dan "gamos". Poly artinya banyak, sedangkan gamos artinya
perkawinan. Secara etimologis poligami adalah suatu perkawinan yang banyak.
Dalam perkembangannya poligami secara istilah dideskripsikan sebagai seorang
lelaki yang menikahi perempuan lebih dari satu.
Poligami diartikan dengan perkawinan antara seorang laki-laki
dengan lebih satu isteri dalam waktu yang sama, artinya seorang laki-laki
menikah dengan dua, tiga dan empat orang wanita baik dalam satu waktu atau di
lain waktu. Pengertian yang berlaku umum sekarang dalam masyarakat, bahwa
poligami memiliki lebih dari satu orang isteri atau melakukan madu terhadap
beberapa orang isteri.
Poligami berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki
atau mengawini beberapa lawan jenis dalam jangka waktu tertentu. Istilah
poligami dipakai dalam pembahasan ini karena istilah tersebut lebih umum. Hukum
poligami menurut para ulama dan ahli fikih Syafi’iyyah adalah boleh, dengan syarat
tidak melebihi dari empat orang, jika melebihi dari empat orang, maka hukumnya
haram. Adapun poligami yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perkawinan
yang dilaksanakan melebihi dari satu orang dalam waktu yang sama dan tidak lebih
pula dari empat orang isteri.[5]
Dalam menjaga keseimbangan dalam rumah tangga untuk proses
poligami perlu kepada syarat-syarat poligami yang sudah diatur oleh syarak agar
poligami tetap pada koridor syarak dan Undang-Undang Perkawinan. Tujuan
menikah baik dengan satu orang isteri maupun dengan memperisteri lebih dari
seorang tidak lain adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan
spiritual dan material. Tujuan perkawinan baik monogami maupun poligami adalah
sama. Di kalangan umat Islam sendiri terdapat banyak orang mempraktekkan
poligami.
Karena
pada dasarnya syarat ketat poligami yang dimaksud oleh Q.S al-Nisā` adalah
kemampuan si laki-laki dalam berlaku adil kepada semua istrinya. Jika si
laki-laki yang hendak berpoligami ini khawatir atau bahkan tidak yakin mampu
berlaku adil dengan seadil-adilnya, al-Quran memerintahnya untuk beristri satu
saja. Kesanggupan untuk berlaku adil yang disyaratkan oleh al-Quran bagi
laki-laki yang ingin berpoligami ini, sejatinya adalah bentuk perhatian khusus
al-Quran terhadap praktik poligami. Sebab, apabila praktik poligami tidak
diberikan perhatian secara khusus dan hati-hati, praktik tersebut hanya akan
melahirkan sebuah kebohongan dan pelanggaran hak-hak perempuan.
Namun poligami yang dilakukan menuai banyak masalah apalagi
poligami yang dilakukan karena dorongan hawa nafsu semata. Karena itu Islam
menetapkan beberapa syarat poligami dan juga beberapa syarat lain yang terdapat
dalam hukum positif. Poligami adalah terjemahan dari ta'addud al-zawjat (beristeri
lebih dari satu). Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa istilah untuk
perkawinan dengan isteri/suami lebih dari seorang, sebagai berikut:
a.
Poliandri yaitu sistem
perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu
orang dalam waktu yang bersamaan.
b.
Poligami yaitu sistem
perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai
isteri dalam waktu yang bersamaan.
Kontroversial soal poligami bukanlah hal yang baru. Pada tahun
1973, saat Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan diajukan ke Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), pro dan kontra masalah ini sudah mencuat ke permukaan.
RUU Perkawinan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman pada saat itu, Marseno Aji,
telah memicu kontroversi keras terutama dari masyarakat yang beragama Islam.
Tidak hanya sampai di situ larangan berpoligami telah berefek kepada banyaknya
anggota Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi
Republik Indonesia (Polri) yang melakukan pernikahan secara sembunyi-bunyi,
akibat sulitnya memperoleh izin dari pengadilan agama dan memperoleh persetujuan
isteri. Terlepas dari polemik yang muncul banyak juga kalangan yang menyatakan poligami
pada hakikatnya merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap martabat perempuan,
karena tidak ada perempuan yang rela dan bersedia dimadu, sebagaimana halnya
laki-laki.[6]
2.
Pandangan
Islam Tentang Poligami
Islam adalah agama yang mengatur dan menperjelas
tentang poligami karena sejarah menyatakan poligami telah muncul setelah
manusia dengan peradaban yang jahiliyah yakni masa purba, hampir seluruh
kalangan bangsa Yunani pada masa kejayaan Athena, di kalangan Cina, bangsa
India, kerajaan Babiylonia dan lain-lain, dan poligami di kalangan mereka tidak
terbatas berapa istri saja boleh. Agama “Like” di kerajaan China misalnya
memperbolehkan berpoligami sampai 130 istri, dan malah ada salah seorang raja
China yang mempunyai istri sebanyak 30. 000 orang.[7]
Poligami dalam
Islam adalah suatu peraturan yang ditetapkan berdasarkan
perikemanusiaan, dan pertanggung jawaban moral, dari segi moral, itu memberi
kemungkinan bagi seorang lelaki untuk dapat berhubungan dengan sah, dengan
wanita mana saja yang dikehendakinya, dan dalam waktu yang mana saja. Tetapi di
samping keluasan itu, ditetapkan pula bahwa laki-laki tidak boleh berhubungan
dengan wanita lebih dari tiga (3) selain istri yang pertama. Dan juga di
tetapkan bahwa laki-laki tidak boleh mengadakan hubungan gelap dengan wanita,
tanpa melakukan aqad nikah secara terang-terangan dengan menghadirkan wali dan
saksi-saki yang akan nantinya memberikan habar kepada orang lain yang pada saat
aqad tidak menghadirinya.
Di dalam Al- Qur’an Surat An- Nissa ayat 3, poligami
boleh dilakukan sampai empat istri, kata fankihu
“menikahlah kamu” kalimat ini meskipun berbentuk perintah, namun maksudnya
hanyalah mengatakan boleh, bukan wajib, ini berbagai kalangan ulama sepakat
mengatakan demikian dan belum ada ulama yang berbeda pendapat tentang itu.
Dalam ayat ini bukan hanya dibatasi jumlahnya namunjuga di batasi dengan
syarat-syarat yang mengharuskan berpoligami, seperti persyaratan berlaku adil
diantara istri-istrinya, karena pada kelanjutan dalan ayat tersebut seseorang
hanya di bolehkan satu saja jika tidak bisa berlaku adil.[8]
Poligami dalam hukum Islam merupakan suatu solusi
bagi sebagian orang sedikit untuk mewujudkan kesempurnaan dalam kehidupan
keluarga yang memang tidak dapat dicapai dengan monogami. Problem ketiadaan anak
yang mungkin disebabkan oleh kemandulan seorang isteri, ketidakpuasan seorang
suami karena kurangnya pelayanan yang prima dari seorang isteri, atau
tujuan-tujuan dakwah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. merupakan
sederetan problem yang barangkali bisa dipecahkan oleh lembaga poligami ini.
Namun yang perlu Adil dalam Poligami dicatat, jangan sampai upaya mengatasi
berbagai problem dengan cara poligami malah menimbulkan problem baru yang lebih
besar mafsadatnya daripada problem sebelumnya. Jika hal ini terjadi tentu
poligami bukanlah suatu solusi yang dianjurkan, tetapi sebaliknya bisa jadi
malah dilarang.[9]
3.
Pandangan
ulama tafsir tentang poligami
a.
Tafsir Ibnu Katsir Atas QS. An-Nisā’:
3
Berbicara
Qs. An-Nisā’: 3 tidak bisa dilepaskan dengan munasabah dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Artinya: “Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka dan janganlah kamu tukar yang
baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka dengan hartamu.
Sesungguhnya itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah apa yang baik di antara
wanita-wanita itu bagi kamu: dua, tiga atau empat orang. Kemudian jika kamu
takut takkan dapat berlaku adil maka hendaklah seorang saja atau hamba sahaya
yang menjadi milikmu. Yang demikian itu lebih dekat tidak berbuat aniaya.”[10]
Menurut
Ibnu Katsir, ayat di atas turun berawal bahwa ada seorang laki-laki yang
memiliki anak yatim, lalu menikahinya. Sedangkan anak perempuan
tersebut memiliki sebuah pohon kurma yang pemeliharaannya dipegang oleh
laki-laki tersebut, dan anak perempuan yatim itu tidak mendapatkan
maskawin darinya.[11]
Sehingga
turunlah ayat: wain khiftum allā tuqdilū, (dan jika kalian khawatir
tidak dapat berbuat adil). Menurut riwayat, Ibnu Zubair pernah bertanya
kepada Siti Aisyah mengenai ayat ini lalu dijawab seperti ini oleh Siti
Aisyah: Hai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang
dimaksud berada dalam asuhan walinya, dan berserikat dengannya dalam
harta bendanya. Lalu si wali menyukai harta dan kecantikannya.
Maka
timbullah niat untuk mengawininya tanpa berlaku adil dalam maskawinnya;
selanjutnya ia memberinya maskawin dengan jumlah yang sama seperti yang diberikan
oleh orang lain kepadanya (yakni tidak sepantasnya). Maka mereka dilarang menikahi
anak-anak yatim seperti itu kecuali jika berlaku adil dalam maskawinnya, dan
hendaknya maskawinnya mencapai batas maksimal dari kebiasaan maskawin untuk
perempuan sepertinya. Jika para wali tidak mampu berbuat demikian, mereka
diperintahkan untuk kawin dengan wanita lain selain anak-anak perempuan yatim
yang berada di bawah perwaliannya.
Kemudian
mengenai ayat selanjutnya: maṣnā wa ṣulāṣa wa rubā’ (dua, tiga,
dan empat). Ibnu Katsir menyatakan “Nikahilah wanita manapun yang kamu sukai
selain dari anak yatim, jika kamu suka, boleh menikahi dua orang, dan jika
suka, boleh tiga orang, dan jika kamu suka boleh empat orang.”Dari sini
kemudian dengan mengutip pernyataan imam asy-Syafii, Ibnu Katsir menyatakan pada
dasarnya Sunnah Rasulullah yang dijelaskan melalui wahyu menegaskan bahwa
selain Rasulullah tidak diperbolehkan menikah lebih dari empat. Dalam catatan akhirnya mengenai QS. An-Nisā 2-4
ini Ibnu Katsir menegaskan bahwa seandainya diperbolehkan menghimpun lebih dari
empat istri, niscaya Rasulullah memperbolehkan tetapnya 10 istri Gailan
mengingat mereka semua masuk Islam.
Namun Muhammad Saw menegaskan hal lain, yakni meminta
Gailan agar mempertahankan 4 istri dan 6 lainnya diceraikan.[12]
b.
Tafsir Al Misbah
Quraish Shihab menyatakan bahwa surat An-Nisa’ ayat 3 tidaklah
mewajibkan poligami ataupun menganjurkannya. Ayat tersebut hanya berbicara
tentang bolehnya poligami. Itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat
dilakukan oleh orang yang amat membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak
ringan. Dengan begitu, bahasan tentang poligami dalam Al-Qur’an hendaknya tidak
ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya, namun harus dilihat dari sudut
pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
Muhammad Baqir Al-Habsyi berpendapat, di dalam Al-Qur’an tidak ada
satu ayat pun yang memerintahkan atau menganjurkan untuk poligami. Penyebutan
hal ini dalam QS. An-Nisa’ ayat 3 hanya sebagai informasi sampingan dalam
rangka perintah Allah agar memperlakukan sanak famili, terutama anak-anak yatim
dan harta mereka, dengan perlakuan yang adil.
Dalam pandangan Al-Maraghi, kebolehan berpoligami dalam surat
An-Nisa’: 3 ialah kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Poligami hanya diperbolehkan
dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang
sungguh-sungguh membutuhkan. Jika poligami dirasa akan memunculkan akibat
buruk, maka lebih baik dihindari, sebagaimana diatur dalam kaidah fiqh dar’u
al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih (menolak kemafsadatan lebih didahulukan
daripada mendatangkan kemaslahatan)
Ath-Thabari, Ar-Razi, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha memahami ayat
3 surat An-Nisa’ yang acap kali dijadikan dasar kebolehan berpoligami itu dalam
konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim dan perempuan-perempuan yang
dinikahi. Yang menjadi pertimbangan utama ayat tersebut adalah berbuat adil terhadap
hak-hak dan kepentingan-kepentingan anak yatim dan perempuan yang dinikahi.
Prinsip keadilan inilah yang ditekankan oleh Muhammad Abduh ketika
dulu mengeluarkan fatwa tentang poligami. Sebagaimana dikutip oleh Ali Ahmad Al-Jurjawi
dalam kitabnya, Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu, fatwa yang dikemukakan Abduh
pada tahun 1298 H itu berisi pernyataan bahwa syariat Islam yang dibawa
Rasulullah memang membolehkan laki-laki mengawini empat perempuan sekaligus,
jika ia mampu menakar dan mengetahui kemampuan dirinya untuk berbuat adil. Jika
tidak mampu, maka tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Sebab, apabila
suami tidak dapat memberikan hak-hak istrinya, struktur rumah tangga akan
rusak. Begitu pula dengan fondasi penghidupan keluarga. Padahal, tiang utama
dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan sikap saling
menyayangi antar anggota keluarga.
Menurut Syafiq Hasyim, pendapat Abduh tersebut mengindikasikan
bahwa dia menekankan terpenuhinya sisi keadilan seperti rasa kasih sayang dan
cinta yang sama (tidak condong pada satu pihak tertentu) yang semua itu tidak
bisa diukur dengan perhitungan matematis atau angka-angka, pada dasarnya
manusia tidak bisa adil.[13]
c.
Tafsir Al-Manar
Sebagaimana dikutip
Nurjannah Ismail, secara terang-terangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tidak
setuju terhadap praktik poligami yang ada di masyarakat. Meski secara normatif
diperbolehkan dalam kondisi tertentu, namun lantaran adanya persyaratan yang
sulit diwujudkan (bersikap adil kepada para istri), maka sebenarnya poligami tidak
dikehendaki oleh Al-Qur’an. Bentuk perkawinan monogami itulah yang dijadikan
tujuan pernikahan karena memungkinkan terciptanya suasana tenteram dan kasih
sayang dalam keluarga.
Fazlur Rahman, seperti
dikutip oleh Ashgar Ali Engineer, mengungkapkan, Al-Qur’an tidak pernah
memberikan izin secara terbuka kepada siapa pun untuk beristri hingga empat
orang. Menikah dengan lebih dari satu perempuan diizinkan dengan syarat
keadilan dalam tiga tingkat. Senada dengan Fazlur Rahman, As Sya’rawi
berpendapat bahwa praktik kawin dengan lebih dari satu perempuan (poligami)
tidak pernah diperintahkan oleh Allah. Praktik tersebut hanya diperbolehkan.
Oleh karena itu, orang yang tidak mampu melaksanakannya, tidak diizinkan untuk melakukan
poligami.[14]
Atas dasar adil firman Allah SWT QS An-Nissa ayat 129
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”[15]
Mahmud Halim berpendapat,
Islam membolehkan bentuk pernikahan secara poligami dengan alasan-alasan
tertentu. Pertama, jumlah wanita melebihi jumlah laki-laki. Apabila kondisi itu
terjadi, maka poligami menjadi sebuah solusi untuk mengatasi masalah wanita
yang belum menikah yang dikhawatirkan akan memunculkan dampak negatif. Kedua,
nafsu biologis lelaki sangat besar yang mungkin tidak mampu dipenuhi oleh satu
orang istri, atau istrinya memang tidak ingin memenuhi kebutuhan biologis. Agar
tidak terjadi perzinaan, poligami bisa menjadi penggantinya. Ketiga, masa subur
laki-laki dapat mencapai 70 tahun atau lebih, sedangkan kesuburan wanita
umumnya hanya sampai usia 50 tahun. Keempat, poligami juga bisa menjadi sarana
untuk dapat mengayomi dan meringankan nasib anak-anak yatim yang berada dalam tanggungan
seorang janda yang kurang mampu.[16]
Muh. Abduh berpendapat bahwa poligami
merupakan tindakan yang tidak boleh dan haram. Poligami hanya dibolehkan jika
keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami
juga mensyaratkan kemampuan suami untk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang
sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja
ia tidak akan mampu membagi kasih sayangnya secara adil.
Masjfuk Zuhdi menjelaskan bahwa Islam
memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madarat daripada
manfaatnya. Karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati
dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika
hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa menjadi sumber
konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan
isteri-isteri dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri
beserta anak-anaknya masing-masing. Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan dalam
Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau
watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam dalam keluarga monogamis.
Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan
terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam
kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat
membahayakan keutuhan keluarga.
Dengan demikian, poligami hanya
diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat misalnya isterinya ternyata mandul
(tidak dapat membuahkan keturunan), isteri terkena penyakit yang menyebabkan
tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri. Dalam berbagai keadaan
tertentu, poligami diperlukan untuk melestarikan kehidupan keluarga. Kemandulan
seorang istri atau penyakit yang menahun atau wanita yang telah hilang daya
tarik pisik atau mental yang akan menyeret terjadinya perceraian daripada
poligami. Sudah sepatutnya seorang isteri yang demikian merelakan suaminya
melakukan poligami, bila suaminya berkehendak sebagai bukti tanggung jawabnya
(isteri) dalam rangka melestarikan kehidupan keluarga dan kemakmuran bumi.
Hukum Islam secara prinsip tidak mengharamkan (melarang) poligami, tetapi juga
tidak memerintahkan poligami. Artinya, dalam hukum Islam poligami merupakan
suatu lembaga yang ditetapkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi adanya
problem tertentu dalam suatu keluarga (rumah tangga). Sesuai dengan dua prinsip
hukum Islam yang pokok, yakni keadilan dan kemaslahatan, poligami dapat
dilakukan ketika terpenuhinya kedua prinsip tersebut. Poligami harus didasari
oleh adanya keinginan bagi pelakunya untuk mewujudkan kemaslahatan di antara
keluarga dan juga memenuhi persyaratan terwujudnya keadilan di antara suami,
para isteri, dan anak-anak mereka.
d.
Al-Tafsīr
Al-Wasīt Li Al-Qur‟ān Al-Karīm
Menurut Muhammad
Sayyid Tāntāwī masalah poligami ini bukanlah hal yang bisa dilakukan oleh semua
orang. Sebab, poligami yang dibolehkan oleh al Qur‟an hanyalah merupakan
dispensasi bagi kaum laki-laki yang merasa mampu untuk berbuat adil pada semua
istrinya. Namun, bagi mereka (laki-laki) yang merasa tidak akan dapat berbuata
adil di antara istri-istrinya, maka sebaiknya dicukupkan satu saja.
Dengan begitu ia
akan terjaga dari berbuat dzalim dan aniaya.
Namun dalam saat-saat tertentu, poligami menjadi urgen untuk
dipraktikan. Sebab kalau ditinjau dari aspek kemanusiaan, laki-laki memiliki hasrat
yang lebih tinggi dari wanita, sehingga perlu untuk disalurkan. Maka dari itu,
untuk menghindari perbuatan zina,
melegalkan poligami dengan batasan tidak boleh lebih dari empat orang.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Poligami merupakan bahasa asing
yang dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia. Poligami berasal dari bahasa Yunani
yang terdiri dari dua kata yakni ''poly" dan "gamos".
Poly artinya banyak, sedangkan gamos artinya perkawinan. Secara
etimologis poligami adalah suatu perkawinan yang banyak. Dalam perkembangannya
poligami secara istilah dideskripsikan sebagai seorang lelaki yang menikahi
perempuan lebih dari satu. Poligami diartikan dengan perkawinan antara seorang
laki-laki dengan lebih satu isteri dalam waktu yang sama, artinya seorang laki-laki
menikah dengan dua, tiga dan empat orang wanita baik dalam satu waktu atau di
lain waktu. Pengertian yang berlaku umum sekarang dalam masyarakat, bahwa
poligami memiliki lebih dari satu orang isteri atau melakukan madu terhadap
beberapa orang isteri.
Islam adalah agama yang mengatur dan menperjelas
tentang poligami karena sejarah menyatakan poligami telah muncul setelah
manusia dengan peradaban yang jahiliyah yakni masa purba, hampir seluruh
kalangan bangsa Yunani pada masa kejayaan Athena, di kalangan Cina, bangsa
India, kerajaan Babiylonia dan lain-lain, dan poligami di kalangan mereka tidak
terbatas berapa istri saja boleh. Agama “Like” di kerajaan China misalnya
memperbolehkan berpoligami sampai 130 istri, dan malah ada salah seorang raja
China yang mempunyai istri sebanyak 30. 000 orang.[18]
Poligami dalam Islam adalah suatu
peraturan yang ditetapkan berdasarkan perikemanusiaan, dan pertanggung jawaban
moral, dari segi moral, itu memberi kemungkinan bagi seorang lelaki untuk dapat
berhubungan dengan sah, dengan wanita mana saja yang dikehendakinya, dan dalam
waktu yang mana saja. Tetapi di samping keluasan itu, ditetapkan pula bahwa
laki-laki tidak boleh berhubungan dengan wanita lebih dari tiga (3) selain
istri yang pertama. Dan juga di tetapkan bahwa laki-laki tidak boleh mengadakan
hubungan gelap dengan wanita, tanpa melakukan aqad nikah secara terang-terangan
dengan menghadirkan wali dan saksi-saki yang akan nantinya memberikan habar
kepada orang lain yang pada saat aqad tidak menghadirinya.
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas turun berawal
bahwa ada seorang laki-laki yang memiliki anak yatim, lalu menikahinya.
Sedangkan anak perempuan tersebut memiliki sebuah pohon kurma
yang pemeliharaannya dipegang oleh laki-laki tersebut, dan anak
perempuan yatim itu tidak mendapatkan maskawin darinya.
Quraish Shihab menyatakan bahwa surat
An-Nisa’ ayat 3 tidaklah mewajibkan poligami ataupun menganjurkannya. Ayat
tersebut hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Itu pun merupakan pintu
kecil yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang amat membutuhkannya dan dengan
syarat yang tidak ringan. Dengan begitu, bahasan tentang poligami dalam
Al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya, namun
harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang
mungkin terjadi.
Sebagaimana dikutip
Nurjannah Ismail, secara terang-terangan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tidak
setuju terhadap praktik poligami yang ada di masyarakat. Meski secara normatif
diperbolehkan dalam kondisi tertentu, namun lantaran adanya persyaratan yang sulit
diwujudkan (bersikap adil kepada para istri), maka sebenarnya poligami tidak
dikehendaki oleh Al-Qur’an. Bentuk perkawinan monogami itulah yang dijadikan
tujuan pernikahan karena memungkinkan terciptanya suasana tenteram dan kasih
sayang dalam keluarga.
Menurut Muhammad
Sayyid Tāntāwī masalah poligami ini bukanlah hal yang bisa dilakukan oleh semua
orang. Sebab, poligami yang dibolehkan oleh al Qur‟an hanyalah merupakan
dispensasi bagi kaum laki-laki yang merasa mampu untuk berbuat adil pada semua
istrinya. Namun, bagi mereka (laki-laki) yang merasa tidak akan dapat berbuata
adil di antara istri-istrinya, maka sebaiknya dicukupkan satu saja.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan .Kamus Besar Bahasa Indonesia
,Ja karta: Balai Pustaka,1993, 693
Hidayatulloh,
Haris. "Adil dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm." Religi: Jurnal
Studi Islam 6.2 (2015): 207-236. Di kutip pada tanggal 9 Oktober 2019
pukul. 14:35
Rodani, “Poligami Dalam Pandangan Manusia” A’Empat ,Serang-Banten; 2019
Ibid. h. 46
Haris Hidayatulloh “Adil
Dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm” dalam Religi: Jurnal Studi Islam Volume 6,
Nomor 1, April 2015 dikutif pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul, 09.33
Ali Hendri
“Poligami Perspektif Kitab Al-Tafsīr Al-Wasīt Li Al-Qur‟ān Al-Karīm” Dalam
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 3, 1 (Juni 2018): diakses pada
tanggal 10 Oktober pukul. 12-12
Tubagus Najib
Al-Bantani dan Tholabi Kharlie “Al-
Qur`an Mushaf Al –Bantani” Lembaga Percetakan
Al –Qur`an KEMENAG R.I, Curug –Serang-Banten 2010
Saiful
Zuhri Qudsy dan Mamat S. Burhanudin “Penggunaan
Hadist-Hadist Poligami” Dalam Musawa vol. 15 no. 2 juli 2016 Dikutip pada
tanggal 12 Oktober 2019, pukul. 07.58
Riyandi, S. “Syarat Adanya Persetujuan Isteri
Untuk Berpoligami (Analisis Ushul Fikih Syafi‘Īyyah Terhadap Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)” Dalam Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Volume 15
No.1, Agustus 2015. Dikutip pada tanggal 20 September 2019 pada pukul. 15.30
[1] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan .Kamus Besar Bahasa Indonesia
,Ja karta: Balai
Pustaka,1993, 693
[2] Hidayatulloh, Haris. "Adil dalam Poligami Perspektif
Ibnu Hazm." Religi: Jurnal Studi
Islam 6.2 (2015):
207-236. Di kutip pada tanggal 9 Oktober 2019 pukul. 14:35
[3] Rodani, “Poligami Dalam Pandangan Manusia” A’Empat ,Serang-Banten; 2019
[4] Ibid. h. 46
[5]
Riyandi, S. “Syarat
Adanya Persetujuan Isteri Untuk Berpoligami (Analisis Ushul Fikih Syafi‘Īyyah
Terhadap Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)” Dalam Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Volume
15 No.1, Agustus 2015. Dikutip pada tanggal 20 September 2019 pada pukul. 15.30
[6]
Riyandi, S. “Syarat Adanya Persetujuan
Isteri Untuk Berpoligami (Analisis Ushul Fikih Syafi‘Īyyah Terhadap
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)” Dalam Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Volume
15 No.1, Agustus 2015. Dikutip pada tanggal 20 September 2019 pada pukul. 15.30
[7] Rodani, “Poligami Dalam Pandangan Manusia” A’Empat ,Serang-Banten; 2019
[8] Ibid
[9]
Haris Hidayatulloh “Adil Dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm” dalam Religi:
Jurnal Studi Islam Volume 6, Nomor 1, April 2015 dikutif pada tanggal 10
Oktober 2019 pukul, 09.33
Percetakan
Al –Qur`an KEMENAG R.I, Curug –Serang-Banten 2010
[11] Saiful Zuhri Qudsy dan Mamat S.
Burhanudin “Penggunaan Hadist-Hadist
Poligami” Dalam Musawa vol. 15 no. 2 juli 2016 Dikutip pada tanggal 12
Oktober 2019, pukul. 07.58
[12] Haris Hidayatulloh “Adil
Dalam Poligami Perspektif Ibnu Hazm” dalam Religi: Jurnal Studi
Islam Volume 6, Nomor 1, April 2015 dikutif pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul,
09.33
[13]
Makrum “Poligami Dalam Perspektif Al-Qur’an” Dalam Maghza Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016 Dikutip pada
tanggal 30 Oktober 2019 pukul 14.30
2016 Dikutip pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 14.30
[15] Tubagus Najib
Al-Bantani dan Tholabi Kharlie “Al-
Qur`an Mushaf Al –Bantani” Lembaga
Percetakan
Al –Qur`an KEMENAG R.I, Curug –Serang-Banten 2010
[16]
Makrum “Poligami Dalam Perspektif Al-Qur’an” Dalam Maghza Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016 Dikutip pada
tanggal 30 Oktober 2019 pukul 14.30
[17]
Ali
Hendri “Poligami Perspektif Kitab Al-Tafsīr Al-Wasīt Li
Al-Qur‟ān Al-Karīm” Dalam Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 3, 1
(Juni 2018): diakses pada tanggal 10 Oktober pukul. 12-12
[18] Rodani, “Poligami Dalam Pandangan Manusia” A’Empat ,Serang-Banten; 2019
Komentar
Posting Komentar