Tata Cara Penentuan Awal Puasa Ramadhan
Waktu
Rukyah Hilal
Menurut
pendapat yang otoritatif (al-mu’tamad),
rukyah hilal yang valid adalah yang dilakukan setelah terbenam matahari. Adapun
jika dilakukang sebelumnya,baik sebelum tergelincirnya matahari
maupunsesudahnya, maka hal itu tidak dianggap, baik untuk (bulan) yang lalu
maupun untuk (bulan) yang akan datang. Sebab asy-sya^ri’ telah menggantungkan hukum dengan rukyah setelah terbenam
matahari, sehingga ia menjadi poros utama. Ada juga yang mengatakan, jika hilal
terlihat pada siang hari sebelum tergelincir matahari atau sesudahnya, maka ia
adalah untuk malam berikutnya. Sementara Ahmad berpendapat bahwa hilal yang
terlihat sebelum tergelincirnya matahari adalah milik malam sebelumnya.
Hukum
Orang Yang Melihat Hilal
Barang
siapa yang melihat hilal Ramadhan, maka ia wajib berpuasa meskipun kesaksian
tidak diterima. Dan barang siapa melihat hilal Syawal dan kesaksianya tidak
diterima, maka ia tidak boleh berhari raya, mengingat Rasulullah pernah
bersabda,
الصوم يوم
تصومون والفطر يوم تفطرون والأضحى يوم تضحون
“puasa adalah hari saat kalian berpuasa,
Idul fitri adalah hari saat kalian berbuka, dan idul Adha adalah hari saat
kalian menyembelih kurban” (HR. At-Tirmidzi )
Kalangan yang membedakan ketentuan penetapan hilal
antara hilal puasa dan hilal syawal sesungguhnya mengambil tindakan
diferensiasif demikian dengan
pertimbangan perventif untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan (sad adz-dzari’ah), yaitu orang-orang
yang fasiq tidak asalmengaku-aku bahwa mereka telah melihat hilal, lalu berbuka
(berhari raya) seenak perut mereka padahal mereka belum melihatnya. Oleh karena
itu, Imam Asy-Syafi’I berkata: “Jika memang (orang yang melihat hilal) takut
dituding (kesaksiannya sebagai kesaksian palsu) maka ia hendak tetap mencegah
diri dari makan dan minum, sebab meyakini (bahwa hari tersebut adalah) hari
raya.” Sedangkan Imam Malik berpendapat, “barang siapa yang ber-Idul Fitri,
sementara ia hanya melihat hilal sendirian, maka ia wajib memngqadha puasa dan
membayar kiffarat”. Adapun Imam Abu Hanif hanya mewajibkan mengqadha puasa.
(prof. Dr. Abdul Aziz Muhamad Azzam Dkk. Fiqih Ibadah)
Komentar
Posting Komentar