Makalah Ingkar Sunnah Dan Sejarah Perkembanganya


BAB I
Pendahuluan
Pokok Ajaran Agama Islam Terdapat dari dua Sumber yaitu Al-Quran dan Sunnah. Baik al-Quran maupun Sunnah, dua-duanya di sampaikan melalui Nabi. Meskipun dua-duanya di sampaikan oleh Nabi tetapi memiliki tingkatan dan pengertian yang berbeda. Al-Quran adalah kalam Allah yang dismapaikanya Kepada Manusi Melalui Nabi Muhammad Sedangkan Sunah adalah Perkataan Kekasih Allah Yaitu Nabi Muhmmad. Anrtinya dalam kontek tersebut sudah jelas dua-duanya disampaikan oleh hamba yang telah dima’sum sehingga dapat diakui semua kebenaranya dari apa yang disampaikanya.
Apabila salah-satu dari dua sumber tersebu ada yang mengingkarinya maka boleh dikatakan orang tersebut bukan lah orang Islam. Sebab sebab sangat jelas tertera pada rukun Iman Bagian Ke empat Iman Kepada Rasulullah. Apa bila kita mengingkari dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah baik Al-Quran maupun Sunnah berarti sudam mutlak akan keluarnya dari ajaran islam dan dikatakn pula orang-orang yang ingkar terhadap ajaran agama. Maka barang siapa yang ingkar terhadap ajaran agama yang poko maka bisa dikatakan orang tersebut adalah kafir. Tapi pada kenyatannya tidak heran kita temukan banyak orang yang mengingkari keberadaan ajaran-ajaran yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad terutama sunnah Nabi. Bahkan ingkar terhadap Sunah Nabi sudah terjadi dimasa para sahabat. Jadi tidak heran di jaman modern sekarang ini banyak pula orang-orang yang ingkar terhadap Sunnah Nabi.
Dalam kesempatan ini ada beberapa temuan mengenai ingkar sunnah dan sejarah ingkar sunah yang menarik untuk dijadikan bahan makalah yang pertama pengertian ingkar sunah dan sejarah perkembangan ingkar sunah dari masa-kemasa. Sampai terjadinya ingkarsunah di Negara Indonesia dan beberapa tokoh-tokoh ingkar sunah dan bukti-bukti penolakan terhadap Sunnah Nabi.

BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Ingkar Sunnah
1. Arti Etimologis
Kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari dua kata, yaitu “Ingkar” dan “Sunnah”. Kata “Ingkar” berasal dari akar kata bahasa Arab : انكر - ینكر - انكارا yang memiliki beberapa arti di antaranya adalah: tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu (Antonim kata al-Irfan, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati,3 misalnya dalam firman Allah dalam Q.S. Yusuf ayat 58 :
Artinya :
Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir} lalu mereka masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf Mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya.
Juga seperti terdapat dalam Q.S. An-Nahl ayat 83 :
Artinya :
Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.
Al-Askari memberdakan antara makna al-Inkar dan al- Juhdu. Kata “al-Inkar” terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedangkan “al-Juhdu” terhadap sesuatu yang tampak dan disertai dengan pengetahuan.4 Dengan demikian maka orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah di kalangan orang yang tidak banyak pengetahuannya tentang ulum hadis.
Dari beberapa arti kata “Ingkar” di atas dapat disimpulkan bahwa secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatarbelakangi oleh factor[1] ketidak tahuannya atau faktor lain, misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan dan lain-lain.
Sedangkan kata “Sunnah” secara etimologi bermakna السیرةالمتبع (suatu perjalanan yang diikuti) baik perjalanan baik maupun buruk,5 juga dapat bermakna العادة المستمرة (tradisi yang kotinu).
Orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya ahli hadits disebut ahlul bid’ah dan menuruti hawa nafsunya, bukan kemauan hati dan akal fikirannya.
2. Arti Terminologi
Berikut ini akan dikemukakan pengertian Ingkar Sunnah menurut para ahli, sebagai berikut :
a. Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.6
b. Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari sunnahshahih, baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawattir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.7
Dari kedua definisi di atas, dapat dipahami bahwa ingkar sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau kelompok yang menolak sunnah nabi saw sebagai landasan hukum Islam. Sunnah yang dimaksud mulai dari sunnah yang sahih, baik secar substansial; yakni sunnah praktis pengamalan (sunnah ‘amaliah), atau sunnah formal yang dikodifikasikan para ulama yang meliputi perbuatan (qaulan), perbuatan (fi’lan), dan persetujuan Nabi saw (taqriran).
Demikian juga ulama lain seperti As-Suyuthi, berpendapat bahwa orang yang mengingkari kehujahan hadits Nabi, baik perkataan dan perbuatannya yang memenuhi syarat-sayarat yang jelas dalam ilmu Ushul adalah kafir, keluar dari Islam dan digiring bersama orang Yahudi dan Nasrani, atau bersama orang yang dikehendaki Allah dari kelompok orangorang kafir.8 As-Syaukani juga mempertegas bahwa para ulama sepakat atas kehujjahan sunnah secara mandiri sebagai sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an dalam menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Kehujjahan dan kemandiriannya sebagai sumber hukum Islam merupakan keharusan (dharuri) dalam beragama. Orang yang menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam.9 Para ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Fuqaha sahabat selalu bereferensi kepada sunnah dalam menjelaskan al-Qur’an dan dalam beristinbat hukum yang tidak didapati
dalam al-Qur’an.[2]
ANALISIS PEMIKIRAN INGKAR SUNAH
Analisis pemahaman dan pemikiran Ingkar Sunah akan difokuskan pada pokok-pokok pikiran yang penting saja mengingat banyaknya pemikiran tetapi dapat disimpulkan intinya adalah Islam hanyalah al-Qur’an, Nabi tidak berhak menjelaskan al-Qur’an dan Hadis-hadis yang beredar ini palsu. Analisis akan difakuskan pada tiga hal ini:
1. Islam hanyalah al-Qur’an
Islam memang dapat dikatakan hanyalah al-Qur’an karena kesempurnaan kandungannya. Al-Qur’an mengandung segala sesuatu, tetapi keterangannya secara global dan yang pokok-pokok saja. Sedang penjelasan secara terperinci adanya dalam Hadis. Penjelasan Sunah tidak berarti mengurangi kesempurnaan al-Qur’an sedikitpun, justru menambah dan memperkokoh kesempurnaannya.
Sesuatu hal yang tidak dapat diingkari oleh akal sehat adalah keintegrasian Sunah kedalam al-Qur’an, karena yang memberikan informasi bahwa ini kalam Allah adalah perkataan Nabi saw yang disebut dengan Sunah. Jikalau perkataan Rasul ini tidak dapat dijadikan hujah, maka tidak mungkin terealisasi kemukjizatan al-Qur’an. Demikian juga dalam mengetahui rincian jumlah rakaat salat fardu, ukuran minimal wajib zakat (nis}a>b) dan lain-lain, tanpa Sunah sulit memahami dan melaksanakan kandungan al-Qur’an. Dengan demikian kehujahan Sunah adalahmerupakan keharusan dalam agama (d}aru>ri>yah di>ni>yah ).Al-Qur’an perintah mengikuti Nabi, banyak ayat-ayat yang menunjukkan hal itu, misalnya QS. al-H{asyr /59: 7 Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah
Bagaimana cara mengikuti Nabi? Tentunya dengan mempelajari Sunah dan mengamalkannya. Jika seseorang konsisten mengamalkan al- Qur’an berarti ia mengamalkan Sunah. Sunah Nabi sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an dan selalu berintegrasi dengan al-Qur’an. Beragama tidak mungkin bisa sempurna tanpa Sunah, sebagaimana syariat tidak mungkin sempurna tanpa didasarkan kepada Sunah. Para sahabat menerima langsung penjelasan Nabi tentang syariat yang terkandung dalam al-Qur’an baik dengan perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau yang disebut dengan Sunah itu. Demikian juga umat Islam setelahnya, tidak mungkin dapat memahami hakekat al-Qur’an, kecuali harus kembali kepada Sunah. Oleh karena itu umat Islam dahulu dan sekarang sepakat (kecuali kelompok minoritas), bahwa Sunah Rasul baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuannya sebagai salah satu sumber hukum Islam dan seseorang tidak bisa melepaskan Sunah untuk mengetahui halal dan haram.[3]
2. Nabi Tidak Berhak Menjelaskan al-Qur’an
Penjelasan Nabi terhadap makna al-Qur’an diperintah al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nahl/16: 44
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan)

Ayat ini jelas Allah perintah kepada Nabi untuk menjelaskan makna al-Qur’an kepada manusia, sementara Ingkar Sunah melarangnya, apa maksud pernyataan mereka bahwa Islam hanyalah al-Qur’an. Malah tidak ada sepotong ayat pun yang perintah Ingkar Sunah agar menjelaskan al-Qur’an. Penjelasan Sunah sangat diperlukan untuk memahami kandungan al- Qur’an. Nabi seorang penerima wahyu tentunya lebih paham tentang  makna kandungan al-Qur’an. Al-Qur’an perintah salat, zakat, puasa haji akan tetapi tidak menjelaskan bagaiman cara melaksanakan semua itu.Bilangan rakaat salat, waktunya, jumlah salat yang diwajibkan, syarat dan rukunnya, salat-salat sunah, dan lain sebagainya dijelaskan Sunah. Demikian juga ibadah dan perintah-perintah lain.
Al-Qur’an menjelaskan segala sesuatu secara global dan dasar-dasarnya baik dalam urusan agama dan dunia. Lantas perinciannya dijelaskan oleh Sunah, sehingga al-Qur`an mampu menjawab segala persoalan yang timbul seiring dengan perkembangan zaman. Penjelasan Sunah terhadap al- Qur`an tidak mengurangi kesempurnaan kandungan al-Qur`an, justru menunjukkan keunggulan dan kesempurnaan yang mengandung mukjizat. Semua ulama mengakui adanya hubungan bayan Sunah terhadap al- Qur’an, tetapi berbeda dalam istilah yang mereka pergunakan. Misalnya Ahl al-Ra’yi berpendapat penjelasan Sunah terhadap al-Qur’an terbagai menjadi3 hal, yaitu; bayan taqrir (memperkuat), bayan tafsir (menjelaskan yang sulit), dan bayan tabdil atau nasakh (mengganti atau menghapus). Imam Malik membagi ada 5 bagian, yaiyu: bayan taqrir, bayan tawdih (bayan tafsir), bayan tafs}il (penjelasan terteperinci), bayan basti/bayan ta’wil (keterangan yang panjang lebar), dan bayan tasyri’ (menciptakan hukum).
Asy-Sya>fi’i> menetapkan 5 bayan, yaitu; bayan tafs}il, bayan takhsis ( mengkhususkan), bayan ta’yin (menetapkan satu makna dari dua atau lebih), bayan tasyri’, dan bayan nasakh. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam hal ini sepaham dengan asy-Syafi’i. Imam Ibn al-Qayyim dalam
kitab A`lâm al-Muwaqqi`în sebagaimana yang dikutip Ash-Shiddieqy menjelaskan pendapat Imam Ahmad, ada 4 penjelasan, yaitu: bayân ta’kîd,bayân tafsîr, dan bayân tasyî`, dan bayân takhshîsh serta bayân taqyîd(memberikan batasan yang mutlak).[4]
HADIS ATAU SUNAH YANG BEREDAR PALSU
Sebagian Hadis memang ada yang palsu, tetapi masih banyak Hadis yang shahih bahkan banyak pula Hadis mutawartir. Hadis yang dijadikan hujah atau dasar dalam beragama adalah Hadis shahih dan mutawatir, bukan Hadis palsu. Para ulama ahli Hadis telah meneliti Hadis-hadis yang beredar di berbagai kitab Hadis dan telah ditemukan manaa Hadis yang shahih dan mana yang maudhu’. Hadis maudhu’pun telah dihimpun dalam satu buku sehingga umat mengetahui dan membedakan antara maudhu’ dan yang bukan maudhu’.
Keterbelakangan masa kodifikasi Sunah karena perhatian umat Islam awal kepada al-Qur’an yang baru dikodifikasikan pada masa Utsman bin Affan. Sejak awal Sunah juga sangat diperhatikan para sahabat baik melalui praktek dalam kehidupan, penulisan, dan hapalan mereka yang sangat kuat. Tidak ada seorang penelitipun yang menilai Sunah ternodai kepercayaannya pada abad pertama. Kemudian para ulama abad berikutnya telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan sangat teliti dalam mengkritik periwayatan baik matan atau sanad-nya sehingga dapat dibedakan mana yang shahîh dan mana yang tidak shahîh, untuk dikodifikasikan. Dalam periwayatan matan Hadis para ulama mempersyaratkan harus disertai dengan sanad29, agar orang tidak berbohong mendengar Hadis dari Rasulillah atau tidak sembarangan meriwayatkan Hadis kecuali diyakini kebenaraannya dari Rasulillah. Sanad ini sangat penting dalam ilmu Hadis, karena Hadis itu terdiri dari dua unsur yang secara integral tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yakni matan dan sanad. Hadis tidak mungkin terjadi tanpa sanad, karena mayoritas Hadis pada masa Nabi tidak tertulis sebagaimana al-Qur’an dan diterima secara individu (âhâd) tidak secara mutawâtir. Hadis hanya disampaikan dan diriwayatkan secara ingatingatan dan hapalan para sahabat yang andal. Di samping hiruk pikuk para pemalsu Hadis yang tak bertanggung jawab. Oleh karena itu tidak semua Hadis dapat diterima oleh para ulama kecuali telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, di antaranya disertai sanad yang dapat dipertangung jawabkan keshahihannya.[5]
D. Argumentasi Ingkar As-Sunnah
Sebagai suatu paham atau aliran, ingkar as-sunnah klasik ataupun modern memiliki argumen-argumen yang dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam mempertahankan faham mereka. Argumen yang mereka kemukakan terbagi dua :
1. Argumen Naqli
Yang dimaksud argument-argumen naqli tidak hanya berupa ayat-ayat Al-Qur’an saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadits Nabi. Memang agak ironis juga bahwa mereka yang berfaham ingkar sunnah ternyata mengajukan sunnah sebagai argument pembelaan faham mereka. Argumen dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka gunakan, antara lain sebagai berikut :
1. Al-Qur’an (Q.S. An-Nahl:89) :
Artinya :
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiaptiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. an-Nahl:89).
2. Al-Qur’an (Q.S. Al-An’am: 38)
Artinya :
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Q.S. al-An’am: 38)
Menurut para pengingkar sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentuan agama. Dengan demikian, tidak diperlukan adanya keterangan lain termasuk sunnah.
Dari argument-argumen-argumen yang dikemukakan di atas dapat difahami bahwa para pengingkar sunnah yang mengajukan argumen itu adalah orang-orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umatnya. Nabi Muhammad saw hanyalah bertugas untuk menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada pengikutnya. Di luar tersebut Nabi tidak mempunyai wewenang. Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa, orangorang yang beriman diperintahkan untuk patuh kepada Rasulullah. Hal itu menurut para pengingkar sunnah hanyalah berlaku tatkala Rasulullah masih hidup, yakni tatkala jabatan sebagai ulul-amri berada ditangan beliau. Setelah beliau wafat maka jabatan ulul-amri berpindah kepada orang lain dan karenanya kewajiban patuh orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad menjadi gugur. 3. Q.S. Yunus ayat 36 :
Artinya :
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Kebenaran al-Qur’an bersifat pasti, sedangkan sunnah bersifat zhanni (relative). Maka jika terjadi kontradiksi antara keduanya, maka sunnah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru. Hal ini didasarkan pada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan menjauhi zhann . Sehingga menurut anggapan kelompok ingkar sunnah bahwa sunnah itu seluruhnya adalah zhann dan zhann tidak dapat dijadikan hujjah dalam beragama. Hadis-hadis Nabi saw. Sampai kepada kita melalui suatu proses periwayatan yang tidak terjamin luput dari kekeliruan, kesalahan dan bahkan kedustaan terhadap Nabi saw. Oleh karena itu, nilai kebenarannya tidak meyakinkan (zhanny). Karena status ke-zhanny-annya ini, maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai penjelas (mubayyin) bagi al-Qur’an yang diyakini kebenarannya secara mutlak (qat’i).
4. Rasulullah pernah melarang para shahabat menulis sunnah.
2. Argumen-argumen aqli
1. Alqur’an diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad (melalui malaikat jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami Al-Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi. Dengan demikian tidak diperlukan untuk memahami Al-Qur’an2.Tidak percaya kepada semua hadis rasulullah saw. Menurut mereka hadis itu karangan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
3.Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang ajaran al-Qur’an, karena al-Qur’an itu sudah sempurna.
4.Dalam sejarah umat Islam mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat Islam terpecah-pecah , perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadits Nabi. Jadi menurut para pengingkar sunnah, hadits Nabi itu merupakan penyebab kemunduran umat Islam.
5. Asal mula hadits Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadits adalah dongeng-dongeng semata. Dinyatakan demikian, karena hadits Nabi lahir setelah lama Nabi wafat. Kitab-kitab hadits yang terkenal, misalnya shahih Bukhori dan Muslim, adalah kitab-kitab yang menghimpun berbagai hadits palsu.
6.Menurut Taufiq Siddiq, tiada satupun hadits Nabi yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatat hadits terjadi setelah Nabi wafat, dalam masa tidak tertulisnya hadits tersebut,
manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadits sebagaimana yang telah terjadi.
3. Respon Ulama Hadits
Mencermati keberadaan kelompok inkar al-sunnah tersebut serta beberapa argumantasi yang mereka kemukakan, baik naqly maupun aqly, para tokoh-tokoh hadis terkemuka merasa terpanggil untuk meluruskan kembali pendirian
mereka yang dinilai sudah menyimpang. Di antara tokohtokoh hadis tersebut adalah Ibn Hazm, al-Baihaqi, dan al- Syafi’i.
Dalam hal ini, dapat disebutkan beberapa argumentasi yang telah dikemukakan oleh para tokoh hadis tersebut yang sifatnya meng-kaunter sekaligus melemahkan argumentasi- argumentasi kelompok inkar al-sunnah. Di antara argumentasi itu adalah:
1. Penguasan bahasa Arab dengan baik adalah diperlukan untuk memahami kandungan al-Qur’an. Namun demikian, bukanlah berarti orang lantas boleh meninggalkan sunnnah Nabi saw., sebaliknya dengan menguasai bahasa Arab seseorang justru akan mngetahui bahwa al-Qur’an sendirilah yang menyuruh umat Islam agar menerima dan mengikuti sunnah Nabi saw., yang disampaikann oleh periwayat yang dipercaya (alsadiqun), sebagaimana mereka telah disuruh menerima dan mengikuti al-Qur’an.
2. Kata “tibyan” (penjelas) yang termuat dalam al-Qur’an, surat al-Nahl (16): 89, mencakup beberapa pengertian yakni: (1) ayat-ayat al-Qur’an secara tegas menjelaskan adanya berbagai kewajiban, larangan dan teknik dalam pelaksanaan ibadah tertentu, (2) ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, (3) Nabi saw. menetapkan suatu ketentuan yang tidak dikemukakan secara tegas dalam al-Qur’an. Berdasarkan al-Qur’an, surat al-Nahl (16): 89, tersebut hadis Nabi saw. merupakan sumber penjelasan ketentuan agama Islam. Ayat dimaksud sama sekali tidak menolak keberadaan hadis Nabi saw., bahkan memberikan kedudukan yang sangat penting yaitu sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an.20
3. Imam al-Syafi’i, sebagaimana ulama lainnya, mengakui bahwa memang hadis-hadis ahad nilainya adalah zanni. Karena proses periwayatannya bisa saja mengalami kekeliruan atau kesalahan. Oleh karenanya tidak semua hadis ahad dapat diterima dan dijadikan hujjah, kecuali kalau hadis ahad tersebut memenuhi persyaratan shahih dan hasan. Sehubungan dengan itu adalah keliru dan tidak benar pandangan yang menolak otoritas kehujjahan hadis-hadis secara keseluruhan.
4. Hadis yang dikemukan oleh kelompok inkar al-sunnah untuk menolak kehujjahan hadis Nabi saw., dinilai al- Syafi’i sebagai munqathi’ (terputus sanadnya). Jadi hadis yang dimajukan oleh kelompok inkar al-sunnah adalah hadis yang berkualitas dha’if, dan karenanya tidak layak dijadikan sebagai argumentasi. Perlu kiranya digarisbawahi di sini bahwa kelompok inkar al-sunnah, mengingat sikap mereka yang menolak kehujjahan hadis Nabi saw., ternyata tidak konsisten dalam mengajukan argumentasi. Ketidak konsistenan itu tampak jelas ketika mereka juga mengajukan hadis sebagai salah satu argumentasi mereka untuk menolak kehujjahan hadis, dan bahkan hadis yang dimajukan itu berstatus dha’if.21 Argumentasi-argumentasi yang dimajukan oleh al-syafi’I ternyata cukup ampuh untuk membuat kelompok inkar alsunnah abad klasik ini menyadari kekeliruan mereka, dan kemudian kembali mengakui kehujjahan hadis Nabi saw. Tidak hanya itu, al-Syafi’i bahkan berhasil membendung gerakan kelompok inkar al-sunnah ini selama hamper sebelas abad. Atas jasa-jasanya itulah para ulama hadis belakangan memberinya gelar kehormatan sebagai nashir al-sunnah (penolong sunnah) atau multazim al-sunnah (pembela sunnah). Alasan mereka bahwa sunnah itu dhanni (dugaan kuat) sedangkan kita diharuskan mengikuti yang pasti (yakin),
masalahnya tidak demikian sebab Al-Quran sendiri meskipun kebenaranya sudah diyakini sebagai Kalamullah tidak semua ayat memberi petunjuk hukum yang pasti sebab banyak ayat yang pengertiannya masih dhanni (dhanni Ad-dalalah). Bahkan orang yang memakai pengertian ayat seperti ini juga tidak dapat meyakinkan bahwa pengertian itu bersifat pasti (yakin).
Dengan demikian berarti ia juga tetap mengikuti pengertian ayat yang masih bersifat dugaan kuat (dhanni Ad-dalalah). Adapun firman Allah SWT,: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan” (Q.S. Yunus Ayat 36)”.
Yang dimaksud dengan kebenaran (Al Haq) disini adalah masalah yang sudah tetap dan pasti. Jadi maksud ayat ini adalah bahwa dhanni tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap dengan pasti, sedangkan dalam hal menerima hadist, masalahnya tidak demikian.22 Bantahan terhadap argumen kedua dan ketiga Kelompok pengingkar sunnah baik masa lalu (klasik) maupun sekarang (modern), kekurangan waktu mempelajari Al-Quran. Hal itu karena mereka kebanyakan memakai dalil “........dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Q.S.
An Nahl Ayat 89)”.
Padahal dalam Surat An Nahl Ayat 44 Allah berfirman,
“....... dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An Nahl Ayat 44)”.
Apabila Allah sendiri yang menurunkan Al-Quran membebankan kepada Nabi-Nya agar ia menerangkan isi Al- Qur’an, dapatkah dibenarkan seorang muslim menolak keterangan atau penjelasan tentang isi Al-Quran tersebut, dan memakai Al-Quran sesuai pemahaman sendiri seraya tidak mau memakai penjelasan-penjelasan yang berasal dari Nabi saw. Apakah ini tidak berarti percaya kepada sejumlah ayat Al-Quran dan tidak percaya kepada Ayat-ayat lain, Allah SWT
berfirman,
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (Q.S. Al- Bagarah Ayat 85)”.
Sedangkan Argumen mereka dengan Surat Al-An’am Ayat 38 :
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-Quran), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. Hal itu tidak pada tempatnya sebab Allah juga menyuruh kita untuk memakai apa yang disampaikan Nabi SAW. Seperti dalam
Firman-Nya:
........apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah....... (Q.S. Al Hasyir Ayat 7)” Allah juga berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata” (Q.S Al Ahzab Ayat 36)”.
Berdasarkan teks Al-Quran, Rasulullah SAW sajalah yang diberi tugas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an, sedangkan kita diwajibkan untuk menerima dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau baik berupa perintah atau larangan.
Selanjutnya tentang pelarangan penulisan sunnah di zaman rasululah saw adalah hanya diberlakukan untuk umum, tetapi bagi orang-orang khusus ada yang diperbolehkan. Atau dalam istilah lain, catatan hadis untuk umum terlarang, tetapi untuk catatan pribadi diizinkan nabi saw, seperti catatan Abdullah bin Amr yang diberi nama ash-Shahifah Ash-Shadiqah, Abu Syah seorang sahabat dari Yaman, dan shahabat lainnya diizinkan oleh nabi saw untuk menulis sunnah.
Larangan penulisan sunnah pada zaman nabi saw cukup beralasan baik secara religius maupun social, antara lain sebagai berikut :
a. Penulisan hadis dikhawatirkan campur dengan penulisan al-Qur’an, karena kondisi yang belum memungkinkan dan kepandaian tulis-menulis serta sarana dan prasarana yang belum memadai
b. Umat Islam pada awal perkembangan Islam bersifat ummi (tidak bias membaca dan tidak bias menulis) kecuali hanya beberapa orang sahabat saja yang dapat dihitung dengan jari, itupun diperuntukkan penulisan al-Qur’an.
c. Kondisi perkembangan teknologi yang masing primitis; al-Qur’an saja masih ditulis di atas pelepah kuram, tulang binatang, batu-batuan, dan lain sebagainya.
d. Sekalipun orang-orang Arb mayoritas ummi, namun hafalan mereka sangat kuat, sehingga nabi sangatmengandalkan hafalan mereka dalam mengingat hadis.[6]
Golongan Antihadis (Gah)
Menolak al-sunnah merujuk kepada perkataan bahasa Arab yang membawa maksud golongan Antihadis. Penjelasan berhubung dengan definisi ini akan dimulakan dengan pendefinisian golongan, anti dan munkir’ dari segi bahasa. Kemudian diikuti dengan penjelasan definisi hadis dan sunah dari segi bahasa dan istilah. Menurut Kamus Dewan (2002) ‘golongan’ adalah kumpulan atau kelompok dan anti  pula adalah awalan yang bermaksud melawan, membantahi, menentang, tidak menyetujui. Perkataan hadis dari segi bahasa ialah baru atau khabar atau apa yang diucapkan oleh seorang pengucap (Khalil al-Jur t.th.). Munkir pula adalah isim facil (kata pembuat) daripada perkataan ankara yunkiru inkaran ( أنكر ينكر إنكارا ). Ingkar sesuatu ialah jahil tentangnya dan ingkar nikmat pula ialah mengkufurinya (Khalil al-Jur t.th.) sebagaimana firman Allah S.W.T. (Al-Qur’an, surah al-Nahl 16:83), Maksudnya: “Mereka mengetahui nikmat Allah (yang melimpah-limpah itu), kemudian mereka tergamak mengingkarinya dan kebanyakan mereka pula ialah orang-orang yang kufur ingkar”. Dalam Lisan al-cArab : Ingkar adalah sama dengan juhud iaitu mengingkari dalam keadaan ia tahu (Ibn Manzur t.th.). Menurut Kamus Dewan (2002) ingkar mempunyai tiga maksud, pertama; tidak membenarkan (mengaku), menafikan, menyangkal dan mungkir, kedua; enggan, tidak menurut dan tidak mahu dan ketiga; penafian, penyangkalan dan perihal memungkiri.
Sunah asalnya ialah jalan (al-Nawawi t.th.). Sunah juga adalah ‘sirah’ dan ‘jalan biasa’ sama ada baik atau buruk (Ibn Manzur t.th.). Perkataan sunah yang membawa maksud ‘jalan’ terdapat di beberapa tempat dalam Al-Qur’an, salah satunya ialah firman Allah S.W.T.(Al-Qur’an, surah al-Nisa’4:26), Maksudnya: Allah menghendaki (dengan apa yang telah diharamkan dan dihalalkan dari kaum perempuan itu) ialah untuk menerangkan (Syariat-Nya) dan untuk menunjukkan kepada kamu jalan-jalan aturan orang-orang yang dahulu daripada kamu (Nabi-nabi dan orang-orang yang salih, supaya kamu mengikutinya), dan juga untuk menerima taubat kamu. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Hadis dari segi istilah ialah segala yang disandarkan kepada Nabi S.A.W. sama ada perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat semulajadi dan akhlak (Nur al-Din Itr 1996). Sunah menurut Imam al-Nawawi (t.th.) ialah hadishadis yang diriwayatkan daripada Nabi S.A.W.
Menurut al-Hafiz Ibn Hajar (t.th.). sunah, hadis, khabar dan athar merupakan lafaz-lafaz yang hampir mempunyai makna yang satu (ulama berselisih pandangan dalam perkara ini) iaitu segala yang disandarkan kepada Nabi S.A.W. , para sahabat dan para tabicin sama ada perkataan, perbuatan, pengakuan dan sifat. Hadis dan sunah adalah sama takrifnya dari segi istilah di sisi kebanyakan ulama hadis terutama ulama mutakhir (Baha’ al-Din 1999). Takrif sunah yang dinyatakan di atas itu adalah takrif di sisi ulama hadis. Manakala ulamaulama yang mempunyai disiplin ilmu yang lain menakrifkan sunah mengikut disiplin ilmu mereka. Di sisi ulama fekah, sunah atau mandub ialah apa yang dituntut oleh syarak ke atas seorang yang mukallaf untuk melaksanakannya dengan tuntutan yang tidak wajib. Ia juga boleh ditakrifkan:[7]
B. Ingkar Sunnah: Historitas
1. Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik

Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran. Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argument pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah. Pada masa ini bermunculan kelompok ingkar as-sunnah.

Menurut imam Syafi’i ada tiga kelompok ingkar assunnah seperti telah dijelaskan di atas. Antara lain :
a) Khawarij Dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata kharij yang berarti sesuatu yang keluar. Sementara menurut pengertian terminologis khawarij adalah kelompok atau golongan yang pertama keluar dan tidak loyal terhadap pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan khawarij disini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a. Ada sumber yang mengatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum terjadinya fitnah yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Yaitu perang jamal (antara sahabat Ali r.a dengan Aisyah) dan perang Siffin ( antara sahabat Ali r.a dengan Mu’awiyah r.a). Dengan alasan bahwa sebelum kejadian tersebut para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim yang sudah akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi saw sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat setelah kejadian tersebut mereka tolak. Seluruh kitab-kitab tulisan orang-orang khawarij sudah punah seiring dengan punahnya mazhab khawarij ini, kecuali kelompok Ibadhiyah yang masih termasuk golongn khawarij. Dari sumber (kitab-kitab) yang ditulis oleh golongan ini ditemukan Hadits nabi saw yang diriwayatkan oleh atau berasal dari Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan lainnya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seluruh golongan khawarij menolak Hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Nabi saw, baik sebelum maupun sesudah peristiwa tahkim adalah tidak benar.
b) Syi’ah Kata syi’ah berarti ‘para pengikut’ atau para pendukung. Sementara menurut istilah ,syi’ah adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib lebih utama dari pada khalifah yang sebelumnya, dan berpendapat bahwa ahlul al-bait lebih berhak menjadi khalifah dari pada yang lain.
Golongan syiah terdiri dari berbagai kelompok dan tiap kelompok menilai kelompok yang lain sudah keluar dari Islam. Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini menerima hadits nabawi sebagai salah satu syari’at Islam. Hanya saja ada perbedaan mendasar antara kelompok syi’ah ini dengan golongan ahl sunnah (golongan mayoritas umat islam), yaitu dalam hal penetapan hadits. Golongan syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi saw mayoritas para sahabat sudah murtad kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap muslim. Karena itu, golongan syiah menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syi’ah hanya menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ahli baiat saja.
c) Mu’tazilah Arti kebahasaan dari kata mu’tazilah adala ‘sesuatu yang mengasingkan diri’. Sementara yang dimaksud disini adalah golongan yang mengasingkan diri mayoritas umat Islam karena berpendapat bahawa seorang muslim yang fasiq idak dapat disebut mukmin atau kafir. Imam Syafi’i menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menelaskan siapa orang yang menolak sunah itu. Sementara sumbersumber yang menerangkan sikap mu’tazilah terhadap sunnah masih terdapat kerancuan, apakah mu’tazilah menerima sunnah keseluruhan, menolak keseluruhan, atau hanya menerima sebagian sunnah saja. Kelompok mutazilah menerima sunnah seperti halnya umat Islam, tetapi mungkin ada beberapa hadits yang mereka kritik apabila hal tersebut berlawanan dengan pemikiran mazhab mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak hadits secara keseluruhan, melainkan hanya menerima hadits yang bertaraf mutawatir saja. Ada beberapa hal yang perlu dicatat tentang ingkar as-sunnah klasik yaitu, bahwa ingkar as-sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perseorangan dan hal itu muncul akibat ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan hadist. Karena itu, setelah diberitahu tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya menerimanya kembali. Sementara lokasi ingkar as-sunnah klasik berada di Irak, Basrah.
Secara garis besar Muhammad Abu zahrah berkesimpulan bahwa terdapat tiga kelompok pengingkar sunnah yang berhadapan dengan Asy-Syafi’i, yaitu :
1. Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi saw.
2. Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
3. Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.[8]
2. Ingkar Sunnah pada Periode Modern.
Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah Ghulam Ahmad Parvez dari India dan Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir,
Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan. Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah pada periode klasik. Tokoh-tokoh “Ingkar Sunnah” yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia) Dadang Setio Groho (karyawan Unilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor DePag Padang Panjang). Sebagaimana kelompok ingkar sunnah klasik yang menggunakan argument baik dalil naqli maupun aqli untuk menguatkan pendapat mereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia. antara sebab utama ingkar sunnah modern adalah akibat pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat pada awal abad ke-19 di dunia Islam. Para kolonialis memperdaya dan melemahkan Islam melalui penyebaran faham-faham yang bertentangan dengan faham dasar Islam.
Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa ayat 87 :
Artinya :
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?”
Menurut mereka arti ayat tersebut adalah“Siapakah yang
benar haditsnya dari pada Allah”. Kemudian surat al-Jatsiyah ayat 6:
lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keteranganketerangan-Nya.
Selain kedua ayat diatas, mereka juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul kepada umat manusia hanyalah al-Qur’an dan jika Rasul berani membuat hadits selain dari ayatayat al-Qur’an akan dicabut oleh Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik jamulnya, jamul pendusta dan yang durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak berhak untukmenerangkan ayat-ayat al-Qur’an, Nabi hanya bertugasmenyampaikan.[9]
C. Tokoh-Tokoh Ingkar Sunnah
1. Taufiq Shidqi ( w. 1920 m
Tokoh ini berasal dari Mesir, dia menolak hadits Nabi SAW, dan menyatakan bahwa al-Qur'an adalah satusatunya sumber ajaran Islam. Menurutnya "al-Islam huwa al-Qur'an" (Islam itu adalah al-Qur'an itu sendiri). Dia juga menyatakan bahwa tidak ada satu pun Hadits Nabi saw yang dicatat pada masa beliau masih hidup, dan baru di catat jauh hari setelah Nabi wafat. Karena itu menurutnya, memberikan peluang yang lebar kepada manusia untuk merusak dan mengada-ngadakan Hadits sebagaimana “Itulah ayat-ayat Allah yang Kami membacakannya kepadamu dengan sebenarnya; Maka dengan Perkataan manakah yang sempat terjadi. Namun ketika memasuki dunia senja,
tokoh ini meninggalkan pandangannya dan kembali menerima otoritas kehujjahan hadits Nabi saw.
2. Rasyad Khalifa
Dia adalah seorang tokoh Inkar Sunnah yang berasal dari Mesir kemudian menetap di Amerika. Dia hanya mengakui al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam yang berakibat pada penolakannya terhadap hadits Nabi saw.
3. Ghulam Ahmad Parwes
Tokoh ini berasal dari India, dan juga pengikut setia Taupiq Shidqi. Pendapatnya yang terkenal adalah: bahwa bagaimana pelaksanaan shalat terserah kepada para pemimpin umat untuk menentukannya secara musyawarah, sesuai dengan tuntunan dan situasi masyarakat. Jadi menurut kelompok ini tidak perlu ada hadits Nabi saw. Anjuran taat kepada Rasul mereka pahami sebagai taat kepada sistem/ide yang telah dipraktekkan oleh Nabi saw, bukan kepada Sunnah secara harfiah. Sebab kata mereka, Sunnah itu tidak kekal, yang kekal itu sistem yang terkandung di dalam ajaran Islam.
4. Kasim Ahmad
Tokoh ini berasal dari Malaysia, dan seorang pengagum Rasyad Khalifa, karena itu pandangan-pandangnnya pun tentang hadits Nabi SAW sejalan dengan tokoh yang dia kagumi. Lewat bukunya, "Hadits Sebagai Suatu Penilaian Semua", Kasim Ahmad menyeru Umat Islam agar meninggalkan hadits Nabi saw, karena menurut penilaianya hadits Nabi saw tersebut adalah ajaran-ajaran palsu yang dikaitkan dengan Hadits Nabi saw. Lebih lanjut dia mengatakan "bahwa hadits Nabi saw merupakan sumber utama penyebab terjadinya perpecahan umat Islam; kitab-kitab hadits yang terkenal seperti kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab-kitab yang menghimpun hadits-hadits yang berkualitas dhaif dan maudhu', dan juga hadits yang termuat dalam kitab-kitab tersebut banyak bertentangan dengan al-Qur'an dan logika.[10]
TOKOH-TOKOH INGKAR SUNAH INDONESIA DAN PEMIKIRANNYA
1. Ir. M Ircham Sutarto
Ir. M. Ircham Sutarto adalah Ketua Serikat Buruh Perusahaan Unilever Indonesia di Cibubur Jawa Barat. Menurut Hartono Ahmad Jaiz (Peneliti Ingkar Sunah) dialah tokoh Ingkar Sunah dan orang pertama yang menulis diktat dengan tulisan tangan.5 Ircham Sutarto mempunyai peran yang sangat besar dalam penyebaran paham Ingkar Sunah di Indonesia, karena ia sebagai Ketua Serikat Buruh perusahaan Unilever milik orang Belanda. Sementara itu Lukman Saad seorang Direktur PT Ghalia Indonesia yang bergerak di bidang penerbitan dalam perkembangan berikutnya mendapatkan mesin percetakan modern untuk mencetak buku-buku Ingkar Sunah setelah kepergiannya ke negeri Belanda dan bolak balik ke sana. Lukman Saad berasal dari Padang Panjang Sumatra Barat, alumni IAIN Sunan Kalijaga sampai Sarjana Muda yang mendapat gelar BA pada waktu itu. Diktat tulisan Ir Ircham Sutarto tersebut belum diberi judul karena nampaknya masih dalam penyelesaiaan dan diktat inilah yang dijadikan pegangan dalam mengajar dan ceramah. Isinya tentang agama (dîn), taat kepada Allah dan kepada Rasul. Dasar pembahasannya hanya menggunakan dalil-dalil al-Qur’an sedang dalil selain al-Qur’an ditolak termasuk Sunah. Tetapi baik disadari atau tidak, di samping ia tidak sepenuhnya meninggalkan Sunah, ia lebih cenderung menggunakan dalil akli atau pikirannya. Ketika ia berbicara dengan lawan bicaranya dan mendengar dalil Sunah langsung menolak dan menutup telinga dengan tangannya.[11]
2. Abdurrahman
Abdurrahman tinggal di Pedurenan, Kuningan, Jakarta. Seorang mantan Persis (Persatuan Islam) berusia 30 tahun pada tahun 1983.9 Dia giat mengajar dan ceramah di beberapa tempat sekitar Jakarta dan jamaahnya di antar dan dijemput dengan kendaraan mobil. Beberapa masjid di Jakarta ia kuasai salah satu di antaranya Masjid Asy-Syifa di Rumah Sakit Pusat Cipto Mangunkusumo. Salah satu Rumah Sakit yang menyatu dengan Universitas Indonesia dan menjadi tempat praktek Fakultas Kedokteran. Pengajian dimulai setelah shalat Maghrib sampai dengan waktu Isya tiba. Di antara ajarannya:
a. Tidak ada dzan dan tidak ada iqamat pada saat akan menjalankan shalat wajib dengan alasan tidak ada perintah dalam al-Qur’an.
b. Masing-masing salat lima waktu hanya dilakukan dua rakaat.[12]
3. Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu
Dalimi Lubis salah seorang oknum karyawan Kantor Departemen Agama Padang Panjang, lulusan IKIP Muhammadiyah Padang. Menurut M Djamaluddin (tokoh pemberantasan Ingkar Sunah Indonesia) dialah pimpinan gerakan Ingkar Sunah Sumatra Barat. Penyebaran paham Ingkar Sunah dilakukan melalui tulisan-tulisannya baik dalam bentuk artikel maupun buku dan kaset rekaman ceramahnya yang direproduksi oleh PT Ghalia Indonesia. Di antara tulisan artikel Dalimi Lubis tentang penghujatan terhadap perawi Hadis Abu Hurairah dimuat di Suara Muhammadiyah No. 05/80/1995.13 Judul buku-buku karyanya antara lain; Alam Barzah dan Adapun Hukum dalam Islam Hanya al-Qur’an Saja. Nazwar Syamsu seirama dengan Dalimi Lubis lebih banyak menulis beberapa buku berpaham Ingkar Sunah dan ceramah melalui kaset. Ada 14 judul lebih buku dan ceramahnya yang dicetak dan direproduksi PT Ghalia Indonesia sebagaimana yang tertera dalam Keputusan Jaksa Agung dan judul-judul lain yaitu; Isa dan Venus al-Qur’an dan Benda Angkasa, al- Qur’an dan Sejarah Manusia (Penerbit Pustaka Sa’diyah Padang Panjang), Haji dari Segi Geologi dan Sosiologi.[13]
4. As’ad bin Ali Baisa
As’ad bin Ali Baisa berusia sekitar 60 tahun pada tahun 1986 tinggal di Jalan Delima Desa Pepedan komplek Masjid Nurul Huda Kec. Dukuhturi Tegal Jawa Tengah. Asal orang ini berketurunan Arab asli dan pernah mendapat pendidikan agama di sejumlah sekolah Islam di Indonesia. Dia telah memiliki kader dan pengikut sebanyak 20 orang. Kelompok ini juga mempunyai organisasi pengurus penyebaran ajaran dengan nama ISC (Islamic Study Club). Kegiatan ajaran agama yang dikembangkan cukup meresahkan masyarakat Tegal sekitarnya setelah mereka dengan berani menyatakan diri ingkar terhadap Sunah-Sunah Nabi Muhammad saw dan hanya berpegang kepada al-Qur’an saja. Di antara ajarannya ialah sebagai berikut:
a. Shalat Jum’at harus dikerjakan 4 rakaat
b. Bagi yang terpaksa berbuka pada bulan suci Ramadhan karena sakit atau bepergian tidak perlu menggantinya. Sedangkan bagi wanita yang haid harus melakukan shalat.
c. Hadis Bukhari Muslim suatu Hadis yang bidayatul mujtahid (mujtahid pemula). Isinya banyak yang bertentangan dengan al- Qur’an dan merekalah sebagai pemecah umat Islam.
d. Orang yang habis mengambil air wudu jika terkencing dan buang angin tidak perlu repot-repot mengulangi wudunya, bisa terus shalat saja
e. Mi’raj Nabi hanyalah dongeng dan khayalan saja.[14]
5. H. Endi Suradi
H. Endi Suradi tinggal di Kamp. Panca Marga Dermaga Bogor Jawa Barat. Pekerjaannya sebagai seorang guru yang dan Pimpinan aliran Ingkar Sunah. Aliran sesat ini sudah dimulai sejak 1981. Pengajiannya diselenggarakan setiap hari Minggu yang dihadiri terdiri dari kaum pria dan wanita dengan berbagai tingkat golongan usia. Mula pertama menurut utusan yang menyamar menjadi pengikut, H. Endi mempunyai pengikut sekitar 80 orang terdiri dari 40 pria tua dan muda, 30 wanita tua dan muda dan 10 orang anak-anak. Materi pengajiannya yang dibahas al-Qur’an dengan metode ceramah. Al-Qur’an ditafsirkan menurut faham logika sendiri sepotongsepotong. Dalam menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an hanya berdasarkan pemahaman sendiri dalam arti tidak mau mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku umum bagi umat Islam. Nampaknya dalam pemahaman ayat-ayat al-Qur’an masih bersifat tebak-tebakan atau karena dia sendiri bukan seorang yang faham dan mengerti bahasa Arab dan agama.[15]

BAB III
Kesimpulan
Ingkar Sunnah merupakan sebuah kegiatan orang-orang Murtad (Keluar dari Islam) Mulai dari Kelasik sampai periode Moderen, ingkar sunnah merupakan salah satu upaya untuk meruntuhkan kekuatan ajaran islam dengan melalui pemahana-pemahan yang dismpaikan kepada masyarakat awam (bodoh dalam kajian Agama). Dari gambaaran sejarah di atas kejadian ingkar Sunnah selalu terjadi dari masa-kemasa artinya tidak menutup kemungkinan kejadian tersebut akan terulang kembali dimasa berikutnya tetapi dengan cara yang berbeda. Jika kita perhatikan memang kejadian ingkar sunnah sangat membuat pembaca dapat menarik kesimpulan. sebenarnya ingkar sunna memang terjadi karna ketidak pahaman umat islam terhadap ajaranya sehingga dapat menimbulkan pemikiran tersebut atau karna hal demikian sengaja dilakukan oleh orang-orang yang dengan sengaja ingin menghancurkan kepada ajaran Agama Islam.











Daftar Pustaka
Suhandi, INGKAR SUNNAH ( Sejarah, Argumentasi, dan Respon Ulama Hadits) Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

Abdul Majid Khon, PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA (STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Strategi Menangani Kemelut Golongan Anti Hadis (GAH) Mohd Al’Ikhsan Ghazali, Siti Salwa Md. Sawari*, Muhaidi Mustaffa Al-Hafiz, Mohd Hambali Rashid Fakulti Tamadun Islam, Universiti Teknologi Malaysia Kuala Lumpur, Jalan Semarak, 54100 Kuala Lumpur





[1] Suhandi, INGKAR SUNNAH ( Sejarah, Argumentasi, dan Respon Ulama Hadits) Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[2]  Suhandi, INGKAR SUNNAH ( Sejarah, Argumentasi, dan Respon Ulama Hadits) Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[3] Abdul Majid Khon, PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA (STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[4] Abdul Majid Khon, PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA (STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[5] Abdul Majid Khon, PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA (STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[6] Suhandi, INGKAR SUNNAH ( Sejarah, Argumentasi, dan Respon Ulama Hadits) Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[7] Strategi Menangani Kemelut Golongan Anti Hadis (GAH) Mohd Al’Ikhsan Ghazali, Siti Salwa Md. Sawari*, Muhaidi Mustaffa Al-Hafiz, Mohd Hambali Rashid Fakulti Tamadun Islam, Universiti Teknologi Malaysia Kuala Lumpur, Jalan Semarak, 54100 Kuala Lumpur
[8] Suhandi, INGKAR SUNNAH ( Sejarah, Argumentasi, dan Respon Ulama Hadits) Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[9] Suhandi, INGKAR SUNNAH ( Sejarah, Argumentasi, dan Respon Ulama Hadits) Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[10] Suhandi, INGKAR SUNNAH ( Sejarah, Argumentasi, dan Respon Ulama Hadits) Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[11] Abdul Majid Khon, PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA (STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[12] Abdul Majid Khon, PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA (STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[13] Abdul Majid Khon, PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA (STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[14] Abdul Majid Khon, PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA (STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[15] Abdul Majid Khon, PAHAM INGKAR SUNAH DI INDONESIA (STUDI TENTANG PEMIKIRANNYA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Komentar

Postingan Populer