Makalah Ilmu Mukhtalif Al-Hadits


BAB I
Pendahuluan
Sumber ajaran Islam yang paling banyak adalah Hadits, bahkan jutaan hadits telah dibukukan oleh para Ulama sehingga tidak ada yang mengetahui pasti  seberapa banyak jumlah hadits yang telah disampaikan  kepada kita. Hadits merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-Quran sehingga sudah tidak asing bagi umat Islam mendengar kata-kata hadits. Akan tetapi dari sekian banyaknya Hadits yang telah terkumpul dan yang telah dibukukan ada beberapa kendalala dalam pengaplikasianya. Dikranakan ada beberapa hadits tersebut sering bertentangan antara hadits yang satu dengan yang lainya. Entah apa sebabnya haldemikian terjadi hanyalah Allah dan Rasuli-Nya yang mengetahui yang sebenarnya dari apa yang terkandung dari Isi dan Maksud Hadits tersebut.
Dari sedikit urayan diatas sehingga timbul beberapa permasalahan yang membinggungan para Ulama mengenia hadits tersebut, sehingga perlu adanya kerja keras untuk menyelasaikan dari hadits-hadits tersebut sehingga dapat ditarik kesimpulan sedekat mungkin dari apa yang dimaksud dari hadits tersebu yang tidak menimbulkan kekeliruan di antara hadits dari segi pemaknanya. Sehingga ada beberapa ulama hadits dan pukaha telah memberikan metode-metode dalam menyelesaikan hadits yang mukhtalif.
Dalah hal diatas beberapa pemikir agama memiliki kesepakatan (ilnu untuk memecahkan Masalah dalam hadits yang bertentangan) untuk menetukan/mengkaji dari kandungan  hadits-hadits yang M’ukhtalif (dua hadits yang bertentangan ). Merujuk dari permasalahan di atas ada sedikit pembahasan yang akan disampaikan dalam kontek Ilmu M’ukhtali Hadits beserta perkembanganya. Dalam pembahasan ini sedikit memberi gambaran kepada para pembaca  guna  menyemangati untuk mengkaji lebih dalam mengenai Ilmu M’ukhtalif Hadits. Bagaimana pengertian Mukhtalif Hadits, sejakakapan ditemukanya Ilmu Mukhtalif Al-Hadits dan Badaimana metode yang digunakan untuk menyelasailkan Hadit-hadits yang mukhtalif?.
BAB II
A.    Pengertian Ilmu Mukhtalif Hadits
1. Pengertian Hadits M'ukhtalif
Secara etimologjs (bahasa) hadits mukhtalif terdiri dari dua buah kata, yaitu hadits dan mukhtalif. Kata haclis (Arab: Hadits) secara etimologis berarti "Komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan kejadian aktual". Penggunaan hadis dalam bentuk kata sifat atau adjektiva, mengandung arti al-Jadid, yaitu: yang baru, lawan dari al-Qadim (yang lama). Dengan demikian, pemakajan kata hadits di sini seolah-olah climaksudkan untuk membedakannya dengan al-Qur'an yang bersifat Qadim.
Lafadz mukhtalif (مختلف) adalah isim fail dari kata إختلاف  lawan kata dari lafadz al-Ittifaq (إلاتفاق ) arti dari mukhtalif ialah: Berlawanan, berbeda, bertentangan, lawannya kesepakatan atau kemufakatan.
Pendapat tersebut di atas terdapat kesamaan arti bahwa kata mukhtalif adalah pertentangan atau berlawanan dan tidak ada kesepakatan. Secara terminologis, hadits mukhtalif mempunyai beberapa redaksi,
antara lain:
ألأحاديث التى اتصلنا ويخالف بعضها في المعنى أي يتضادّان في المعنى
Had.its-had.its yang sampai kepada kita clan satu dengan yang lainnya berlawanan oalam segi artt.
Fathurrahman mengemukakan bahwa had.its mukhtalifialah "Dua buah had.its maqbul (yang diterima) yang mempunyai perlawanan (kontradiksi) dengan hadits yang lainnya. Sedangkan Moch. Anwar dkk, mengemukakan bahwa had.its mukhtalif adalah had.its maqbul (had.its yang diterima) yang mempunyai mu'arridJ. (berlawanan) antara satu dengan yang lainnya dan nilainya sama (kuat), tetapi dapat dikompromikan atau dicocokkan.
Dari beberapa pendapat ulama hadits tersebut di atas, dapat ditarik pengertian bahwa hadits mukhtalif adalah dua buah hadis atau lebih yang maqbul (dapat diterima) dan nilainya sama-sama kuat, dan hadis tersebut dari segi lafadznya berlawanan satu dengan yang l,ainnya, namun keduanya (hadits mukhtali tersebut dapat dikompromikan.[1]
Menurut al-Tahanuwi, hadis mukhtalif adalah dua hadis maqbul yang saling bertentangan pada makna zahirnya dan maksud yang dituju oleh suatu dengan lainnya, dapat dikompromikan dengan cara yang wajar (tidak dicari-cari).
Definisi yang dikemukakan al-Tahanuwi di atas, membatasi hadis mukhtalif itu hanya pada hadis-hadis maqbul saja, dan tidak termasuk hadis-hadis dhaif. Sedangkan menurut pendapat mayoritas ulama, hadis yang memenuhi persyaratan maqbul adalah hadis sahih dan hasan. Sedangkan menurut al-Nawawi, dikutip oleh al-Sayuthiy bahwa hadis mukhtalif ialah dua buah hadis yang saling bertentangan pada makna zahirnya, maka keduanya dikompromikan ataupun di tarjih (untuk mengetahui mana yang terkuat di antaranya).
Al-Nawawi dalam definisinya, memasukkan semua hadis yang secara zahirnya tampak bertentangan antara satu dengan yang lainnya, ke dalam makna hadis mukhtalif. Namun menurut Yusuf Qardhawi, bahwa hadis dhaif (mardud) tidak termasuk ke dalam bidang hadis mukhtalif.7
Karena itu, bila terdapat hadis maqbul bertentangan dengan hadis mardud, maka secara pasti hadis mardud ditinggalkan. Berdasarkan definisi di atas, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan hadis mukhtalif adalah hadis sahih dan hassan,
secara zahirnya telihat saling bertentangan dengan hadis sahih dan hasan lainnya. Namun maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan, karena satu dengan lainnya pada prinsipnya dapat dikompromikan atau dapat dicari penyelesaiannya dengan cara nasakh atapun tarjih.[2]
Dalam kajian hadits mukhtalif, para ulama telah merumuskan teori atau ilmu yang berkaitan dengannya, yaitu ilmu Mukhtalif Hadits . dengan memahami ilmu ini sesorang akan terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami Hadis-hadis mukhtalif. [3]Definisi ini menunjukkan bahwa ilmu Mukhtalif Hadits juga dapat digunakan untuk memahami hadits-hadits Mukhtalif dan juga untuk menjelaskan kandungan yang termuat dalam hadits tersebut. Secara tidak langsung ‘Ajjaj al-Kahtib menyatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada hadits yang bertentangan apabila dipahami pertentangannya dengan baik.
Cabang ilmu Mukhtalif Hadits terlahir karena adanya permasalahan yang menyangkut dalam kajian hadits-hadits mukhtalif, al- Nawawiy sebagai dikutip oleh al- Suyuthiy,menyebutkan bahwa hadits-hadits mukhtalif sebagai berikut:
أن یأتى حدیثان متضادان فى المعنى ظاھرا فیوفق بینھما أو یرجح أحدھما.
(Hadis Muktalif) adalah dua hadis yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (sehingga perlu dilakukan) upaya pengkompromian antara keduanya atau di-tarjih (menguatkan salah satu di antara kedua hadits-hadits tersebut)”.
Edi Safri mengkoreksi definisi ini dengan menyebutkan bahwa definisi ini sebenarnya mengandung kelemahan yakni kekurangtegasan di dalam rumusannya. Dikatakan demikian karena rumusan definisi tersebut mencakup semua hadits yang secara lahiriah tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya, baik hadits-hadits tersebut sama-sama dalam kategori Maqbul atau Mardud, tanpa ada batasan.
Al- Tahanuwiy menambahkan batasan “dalam katagori Maqbul dalam rumusan definisinya, di antaranya sebagaimana dikemukakan oleh Al- Tahanuwiy sebagai berikut:

الحدیثان المقبولان المتعارضان فى المعنى ظاھرا ویمكن الجمع بین مدلولیھا بغیر تعسف.
Artinya: “(Mukhtalif hadits) adalahdua hadis maqbul yang maknanya secara lahir bertentangan dan untuk itu dilakukan upaya kompromi (untuk mendamaikan pertentangan) di antara kedua hadis tersebut dengan cara yang wajar”.
Al- Tahanuwiy adalah seorang ulama hadits, salah satu bukunya Qawa’id fiy ‘ulum al-Hadits, memberikan penyelesaian hadits-hadits mukhtalif dengan cara kompromi saja. Walupun demikian. Berbeda dengan al-Nawawi, dalam definisi di atas Al- Tahanuwiy mengisyaratkan hadits-hadits mukhtalif hendaknya diterima sebagai Hujjah atau Maqbul.
Menurut Edi Safri hadits mukhtalif adalah hadits Sahih atau Hasan yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan dengan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadits-hadits tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesainnya dalam bentuk Naskh atau Tarjih.
Di dalam defenisi di atas Edi Safri menawarkan tiga cara, seperti yang diugkapkan oleh al-Nawawiy, yakni kompromi, Naskh, dan Tarjih. Tiga definisi di atas mempunyai persamaan dan perbedaan yang mendasar. Dari segi hadits-hadits mukhtalif ,Tahanuwiy dan Edi Safri mensyaratkan hadits-hadits yang bertentangan itu harus hadits Maqbul. Sementara al-Nawawiy tidak mensyaratkan. Dalam aspek metode penyelesainnya, Tahunuwiy hanya menempuh cara kompromi. Sementara al-Nawawiy dan Edi Safri menawarkan kompromi, Nasakh dan Tarjih.
Dari al-Syafi’i sendiri tidak ditemukan rumusan definisi tentang hadits-hadits mukhtalif ini. Namun, dengan memperhatikan pembahasannya menyangkut hadits-hadits mukhtalif ini, tampak bahwa ia memberikan pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian yang diberikan di atas. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-tulisannya yang secara khusus membahas hadits-hadits mukhtalif. Selain hadits mukhtalif dikemukakan di atas, ia juga memasukkan hadits-hadits menyangkut masalah Tanawwu’al-Ibadah6 ke dalam katagori hadits-hadits mukhtalif dalam pembahasan tersebut.
B. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Mukhtalif Hadits
Dalam sejarah perkembangannya dapat dikatakan bahwa praktisnya ilmu ini sebenarnya sudah ada sejak priode sahabat yang kemudian berkembang dari generasi ke generasi berikutnya. Dikatakan demikian karena mereka (para ulama) baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan generasi sesudahnya dalam berijtihad untuk menemukan jawabnya terhadap berbagai masalah yang muncul pada zamannya, senantiasa berhadapan dengan hadits-hadits Nabi Saw, diantaranya terhadap hadits-hadits mukhtalif yang perlu mendapat perhatian tersendiri yakni untuk menyelesaikan pertentangan yang kelihatan agar maksud yang dituju dapat dipahami dan hukum-hukum yang dikandungnya dapat diistinbath- kan dengan baik.
Perkisaran abad ke-2 dengan abad ke-3 H. ilmu mukhtalif hadits ini masih saja hanya ada dalam bentuk praktisnya, dengan arti belum merupakan suatu teori yang dapat diwarisi dalam bentuk warisan tulisan. Pada masa awal sistematis, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu usul fikih. Ini jelas terlihat dalam rumusan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i membuka lembaran baru sejarah perkembangan dari yang secara khusus membahas hadits-hadits mukhtalif dan dalam teori penyelesaian hadits-hadits mukhtalif-nya dalam karyanya” kitab Ikhtilafal-hadits”, kitabnya yang secara khusus membahas hadits-hadits mukhtalif dan juga di dalam kitabnya “al-Risalat”.
Upaya imam al-Syafi’i ini kemudian diikuti oleh Ibn Qutaybah, yang juga menulis kitab khusus tentang hadits-hadits mukhtalif dan penyelesainnya, dengan judul “Ta’wil Mukhtalif al-Hadits”. Setelah Ibn Qutaybah, kemudian tampil pula al-Thahawiy dengan kitabnya “Musykil al-Asar” dan Ibn Furak12 dengan kitabnya “Musykil al-Hadits Wa Bayanuh” dan sejumlah tokoh lainnya.
Edi Safri menyatakan, kontribusi atau arti penting imam al-Syafi’i dalam rentangan sejarah perkembangan Ilmu mukhtalif al-Hadits ini tidak hanya terletak pada kepeloporannya sebagai tokoh pertama yang mewariskan ilmu ini dalam bentuk warisan tertulis sebagaimana dijelaskan dalam uraian di atas, melainkan karena sekaligus ia juga telah berhasil meletakkan kerangka teoritis yang cukup representatif untuk menampung dan menyelesaikan segala bentuk hadits-hadits muktalif. Dengan perkataan lain, dengan merujuk dan mempedomani cara-cara penyelesaian hadits-hadits mukhtalif yang diperkenalkan Imam al-Syafi’i sebagai terdapat di dalam kitab-kitabnya yang disebut di atas, niscaya setiap hadits-hadits yang termasuk kategori hadits-hadits mukhtalif dapat ditemukan jalan keluar penyelesaiannya.
Oleh karena itu, bila diperhatikan cara-cara penyelesaian hadits-hadits mukhtalif yang ditempuh oleh Ibnu Qutaybah, al-Thahawiy dan Ibnu Furaq, di dalam kitab mereka dapat dikatakan bahwa mereka pada dasarnya hanyalah mengikuti cara-cara penyelesaian yang sebelumnya telah dicontohkan oleh imam al-Syafi’i, atau mengembangkan kerangka teoritis yang digariskannya. Jadi metode atau cara-cara penyelesaian hadits-hadits mukhtalif yang diperkenalkan dan diwariskan imam al-Syafi’i sebenarnya telah menjadi rujukan utama di kalangan para muhaddits yang datang kemudian. Oleh karena itu, barang siapa yang ingin mengetahui dan mendalami Ilmu Mukhtalif al-Hadits dengan baik, maka ia harus mempelajari metode atau cara-cara penyelesaian hadits-hadits muktalif yang diwariskan imam al-Syafi’i..[4]
Syarat-Syarat Mukhtalif
Pertentangan antara hadits dengan hadits lainnya menurut Abd al-Majid al-Bairum19 tidak dapat terwujud kecuali telah memenuhi beberapa hal berikut:
a. Pertentangan terjadi dalam satu konteks permasalahan, jika pertentangan pada dua konteks yang berbeda maka keduanya tidak dapat dianggap pertentangan. Seperti, seorang laki-laki dituntut untuk memuliakan isterinya namun di sisi lain seorang anak harus menghormati ibunya,
b. Pertentangan antara dua hukum atau madlûl, hukum yang terkandung dalam dua hadits yang saling bertentangan salah satunya menunjukkan keharaman dan yang lain menunjukkan kehalalan,
c. Kedua hadits yang bertentangan sama dalam kualitas,
d. Pertentangan terjadi pada satu keadaan, misalnya hadits tentang celaan bagi saksi yang tidak jujur dengan hadits tentang pujian bagi saksi-saksi yang jujur dan memberi kesaksian sesuai keadaan.[5]
C. Kerangka Umum Penyelesaian Hadits Mukhtalif
Imam al-Syafi’i merupakan pelopor penghimpun berbagai hadits yang tampak bertentangan di dalam sebuah kitab dan berusaha menyelesaikan pertentangan itu. Pemikirannya tentang ilmu ini tertuang dalam karyanya, al-Umm, yang bersama dengan karyanya yang lain, al-Risalat, dinilai sebagai kitab perintis di bidang ilmu ushul fiqh dan ilmu hadits. al-Umm, yang bermakna Kitab Induk, sebenarnya merupakan kumpulan tulisan yang diimla’kan Imam al-Syafi’i, yang ditulis kembali oleh muridnya al-Rabi’ah ibn Sulaiman al-Maradiy. Sang muridlah yang menamakan kumpulan tulisan ini dengan al- Umm.
Untuk mengawali pembahasan tentang metode atau cara menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif, sengaja dikutip pernyataan Imam al-Syafi’i sebagai peringatan yang tegas dalam memahami hadits-hadits mukhtalif, yaitu:

لا تجعل عن رسول لله حدیثین مختلفین أبدا إذا وجد السبیل إلى أن یكونا مستعملین, فلا نعطل منھما واحدا لأن علینا في كل ما علینا في صاحبھ, ولا نجعل المختلف إلا فیما یجوز أن یستعمل أبدا ألا بطرح صاحبھ.
Jangan mempertentangkan hadits Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadits-hadits tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan hadits-hadits bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.
Dari peringatan Imam al-Syafi’i di atas dapat dipahami bahwa dalam menghadapi dua atau lebih hadits yang tampak bertentangan (Mukhtalif), jangan memberikan penilaian ada pertentangan antara kedua hadits tersebut. Tetapi harus mencari terlebih dahulu langkah penyelesaiannya sehingga peluang untuk mengamalkan keduanya dapat terlaksana.
Peringatan ini juga disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Nabi SAW menyampaikan ajaran Islam antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu hadits dengan hadits lainnya saling bertantangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, salah satu dari hadits tersebut bukanlah hadits Maqbul, karena hadits Mardud, baik Dha’if maupun Mawdhu’, besar kemungkinan bertentangan dengan hadits Shahih atau Hasan, dianggap bertentangan itu hadits yang secara sanad dan matan Shahih, kalau ternyata hadits tersebut Dhaif sanadnya, maka tidak dimasalahkan karena hadits yang bersangkutan ditolak sebagai hujjah . Kedua, karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh haditshadits tersebut. Karena bisa saja masing-masing hadits tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud masing-masing.
Syuhudi Ismail menegaskan untuk menyelesaikan hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut, cara yang ditempuh oleh ulama tidak sama, ada yang menempuh satu cara dan ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda, namun tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaian harus berbeda juga. Walaupun berbeda dalam penggunaan metode, terkadang hasil akhir dari penyelesaian ikhtilaf tersebut banyak yang menunjukkan kesamaan.
Daniel Djuned menjelaskan dalam menyelesaikan pertentangan hadis mukhalif, terdapat dua aliran utama. Pertama, pendapat mayoritas dengan kaedah umum di atas; dan kedua, pendapat kalangan Hanafiyah yang langsung menggunakan metode naskh dan tarjih, al-jam’u wataufiq dan jika tidak dapat diselesaikan kedua hadis tersebut di-tawaqquf-kan. Tetapi, pembagian ini ditolak oleh Daniel Djuned. Menurutnya kesan perbedaan tersebut timbul karena adanya kesalahan dalam memahami istilah yang dipergunakan kalangan Hanafiyah. Jika metode naskh dan tarjih menurut Hanafiyah ini diterapkan pada nash atau dalil syara’ yang ta’arudh20, maka penilaian seperti di atas benar adanya. Tetapi masalahmuncul, apakah ta’arudh sebagaimana yang dipahami oleh kalangan Hanafiyyah ini samadengan pengertian Ikhtilaf al-Hadis yang bersifat lahiriyah? Setelah melakukan pembahasanterinci terhadap konsep ta’arudh Hanafiyyah, Daniel Djuned berkesimpulan bahwa ta’arudhmenurut kelompok ini tidak dapat disamakan dengan ikhtilaf dalam bahasan ilmu hadis.
C. Metodologi Penyelesaian Hadits Mukhtalif Menurut Imam al-Asyafi’i
Metode penyelesaian yang dipakai oleh kebanyakan ulama adalah: pertama, metode al-jam’u wa taufiq, kedua, al-nasakh; ketiga, al-tarjih, dan keempat tawaqquf. Lebih lanjut, mereka menegaskan bahwa penggunaan metode ini dilakukan secara bertahap (hierarki) dan bukan pilihan.
Seperti pernyataan al-‘Asqalaniy :“Hadis maqbul jika tidak ada hadis lain yang bertentangan dengannya disebut hadis muhkam. Tetapi jika ada hadis setara (maqbul) lain yang bertentangan dengannya, maka jika dapat dikompromikan secara wajar, hadis tersebut dipandang sebagai hadis mukhtalif. Jika tidak dapat dikompromikan dan ada data sejarah yang menjelaskan mana hadis yang terakhir datang, maka yang datang terakhir ini dipandang (nasikh), sementara hadis yang datang lebih awal dipandang mansukh. Jika langkah ini tidak dapat dilakukan (karena tidak ada data sejarang yang dapat dipertanggungjawabkan) maka jalan yang harus ditempuh selanjutnya adalah tarjih. Jika inipun tidak dapt dilakukan maka hadis-hadis yang bertentangan tersebut harus di-tawaqquf-kan”.
Dalam teori Syafi’i ialah bahwa dalam teori tersebut tidak terdapat perinsip tawaqquf.23yang dilakukan ulama lain untuk alternatif akhir menempuh dalil yang bertentangan yang tidak dapat dikompromikan dan tidak pula dapat diselesaikan baik dengan cara naskh atau tarjih.
Menurut Edi Safri mengapa Imam Sayfi’i tidak menganut prinsip tawaqquf tersebut karena ia melihat segi praktisnya. Dalam hubungan ini Abu Zahrah mengatakan bahwa Syafi’i tidak menganut perinsip ini karena hal itu berdasarkan kepada hasil penelitiannya yang mendalam terhadap hadits-hadits tersebut, dalam penelitianya Syafi’i tidak pernah menemukan hadits-hadits mukhtalif yang tidak menemukan jalan penyelesaiannya, sehingga harus tawaqquf –kan dalam kesimpulan atau peneltiannya tersebut diungkapkan sendiri oleh Syafi’i: “kami tidak pernah menemukan hadits-hadits mukhtalif , melainkan ada jalan keluarnya”.24dengan demikian jelaslah bahwa tidak dianut prinsip tawaqquf oleh Syafi’I dalam teori penyelesaian hadits-hadits mukhtalif. Tentang pentingnya prinsip tawaqquf dilihat dari segi praktisnya, juga dikemukakan oleh Abdul al-Wahab Khallaf dengan mengatakan bahwa prinsip ini hanya ada dalam teori namun dalam prakteknya tidak pernah ditemukan, jadi secara praktis tidak adanya prinsip tawaqquf tidak dapat dikatakan sebagai suatu kelemahan dari teori penyelesaian hadits-hadits mukhtalif Imam Syafi’i.
Sejalan dengan prinsip di atas, maka cara-cara yang ditempuh oleh al-Syafi’i dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif sebagaimana dapat dilacak dari contoh-contoh yang dikemukakannya di dalam kitab-kitabnya yang disebut sebelum ini, secara garis besarnya dapat diklasifikasi ke dalam bentuk penyelesaian, cara-cara yang ditempuh al-Syafi’i dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif :[6]
Macam-macam hadis Mukhtalif
1. Ada had.its mukhtalif yang dapat ·dikumpulkan, sepereti hadis Ras.ululah SAW, yang diriwayatkan oleh Muslim clan Ahmad sebagai berikut:
لاعدوى ولا طيرة في الإسلام
"Tidak ada penularan clan tidak ada kesialan dalam Islam" (H.R. Muslim clan Ahmad).
Dan Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Bukhari clan
Muslim:
فرّ من المجدوم كما تفرمن الآسد
"Larilah kamu dari oung yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu lari dari singa"(H.R. Bukhari clan Muslim).
Ditinjau dari segi periwayatannya had.its tersebut keduanmya sama-sama shahih, yang pertama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad, sedangkan hadits yang kedua diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Secara lahimya hadits yang pertama menunjukkan tidak adanya penularan dari suatu penyakit, yang berarti setiap orang bisa untuk berdekatan dengan seorang yang sedang sakit sekalipun mempunyai penyakit kusta. Sedangkan hadits yang kedua, menunjukkan agar kaum muslimin, berhati-hari dallun menghadapi orang yang berpenyakit kusta (atau penyakit yang menular).
Inti hadits kedua tersebut adalah, agar setiap manusia berhatihati (waspada) dalam menghadapi penyakit yang menular. Sebab kalau terlalu dekat dan berlama-lama di tempat orang yang sedang sakit, terutama yang penyakitnya menular, khawatir akan tertular. Memang menurut hadits yang pertama menyatakan bahwa penularan itu tidak ada, maksudnya bahwa penyakit tidak akan berpindah atau menular dengan sendirinya, hanya berpindah atau menular dengan kudrat iradat dari Allah swr.[7]
2. Hadits Mukhtalif yang tidak mungkin dapat dikumpulkan. Apabila ada hadits mukhtalif yang tidak dapat dikumpulkan, maka pemecahannya[8] ada beberapa altematif, di antaranya sebagai berikut:
1. Penyelesaian Dengan Menggunakan Metode al-Jam’u wa Taufiq (kompromi).
Dalam menyikapi pertentangan pada hadits-hadits mukhtalif, langkah pertama yang ditempuh ulama adalah menggunakan metode al-jam’u wa taufiq (kompromi). Maksudnya adalah penyelesaian pertentangan antara hadits mukhtalif dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga makna essensial yang dituju oleh haditshadits tersebut dapat diungkap. Melalui pemahaman ini maka makna yang dikandung masing-masing hadis dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.
Imam al-Syafi’i sendiri, ketika menjelaskan tentang metode al-jam’u wa taufiq, menegaskan bahwa tidak ditemukan dua hadis yang bertentangan kecuali ada jalan penyelesaiannya. Ada kemungkinan antara dua hadits yang bertentangan itu, satu harus dipahami secara umum dan yang lain dipahami secara khusus. Kemungkinan kedua, hadits yang bertentangan terjadi karena situasi yang berbeda. Untuk memahami hadits-hadits seperti ini dengan baik dan benar harus melihat dan mempertimbangkan situasi atau kondisi yang berbeda tersebut. Lebih lanjut, terdapat pula kemungkinan-kemungkinan lain, seperti untuk menjawab pertanyaan sahabat tertentu. Pemahaman kontekstualitas ini dalam analisisnya tentu saja memerlukan kepada data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan. Kebutuhan ini dalam kerangka pemahaman hadis dibahas secara khusus dalam Ilmu Asbab Wurud al-Hadis.27 Di samping itu, penguasaan terhadap sirah nabawiyah yang memadai akan sangat membantu proses penyelesaian tahap awal ini. Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa cara penyelesain dalam bentuk kompromi:
a) Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul
Yang dimaksud dengan pemahaman dengan pendekatan kaedah ushul di sini ialah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau kaedah-kaedah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama. Hal ini perlu mendapat perhatian karena masalah bagaimana harusnya memahami maksud suatu hadits atau untuk dapat meng-istinbath-kan hukum-hukum yang dikandung dengan baik, merupakan masalah yang menjadi objek kajian ilmu ushul.
b) Penyelesain berdasarkan pemahaman kontekstual
Yaitu memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya haditshadits tersebut, atau dengan perkataan lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.
c) Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
Pendekatan terhadap hadits-hadits mukhtalif yang tampak bertentangan menyangkut suatu masalah yang dikaji bersama dengan hadits lain yang terkait, dengan memperhatikan ketrkaitan makna satu dengan lainnya, agar maksud atau kandungan makna yang sebenarnya dari hadits-hadits tersebut dapat dipahami dengan baik dan dengan demikian pertentangan yang tampak dapat ditemukan pengompromiannya.
d) Penyelesaian dengan cara ta’wil
Yakni dengan cara mena’wilkannya dari makna lahiriah yang tampak bertentangan kepada makna lain sehingga pertentangan yang tampak tersebut dapat ditemukan titik temu atau pengompromnya.
2. Penyelesaian Dengan Menggunakan Metode Nasakh
Secara bahasa, kata “ naskh” mengandung arti: menghilangkan, sebagai suatu istilah, naskh sebagaimana dirumuskan para ulama adalah:” diangkatnya suatu hukum syar’iy oleh syari’ berdasarkan dalil syari’ yang datang kemudian”. Maksudnya adalah bahwa suatu hukum yang sebelumnya berlaku, kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi oleh syari’, yakni dengan datangnya dalil syar’iy baru, yang membawa ketentuan hukum lain dari yang berlaku sebelumnya.
Penyelesaian dalam bentuk nasakh dipandang sebagai bentuk penyelasaian haditshadits mukhtalif non-kompromi. Dikatakan demikian karena salah satu dari hadits tidak lagi dapat diamalkan, hal ini sesuai dengan ungkapan imam al-Syafi’i terdahulu yakni: ”Dan jangan jadikan hadits-hadits bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selain harus meninggalkan salah satu darinya.” Di sini terungkap bahwa cara kompromi tidak membuahkan penyelesaian, oleh sebab itu ditempuh cara nasakh. Sebab pada hadits-hadits mukhtalif yang pertentangannya tidak saja pada makna lahiriyahnya namun juga pada makna yang dikandungnya, dalam masalah seperti ini munkin sekali antara hadits-hadits tersebut telah terjadi nasakh. Oleh karena itu ia mesti dipahami dengan melihat ketentuan-ketentuan nasakh yakni mengamalkan yang nasakh dan meninggalkan yang mansukh.
Dalam kerangka teori keilmuan, nasakh dipahami sebagai sebuah kenyataan adanya sejumlah hadits mukhtalif bermuatan taklif yang mengandung kesamaan topik, tetapi dengan makna yang berlawanan dan tidak dapat dikompromikan. Persoalan ini menjadi pembicaraan di kalangan ulama hadits dalam karya-karya mereka dan bahkan telah melahirkan suatu cabang ilmu yang disebut ilmu nasikh al-hadis wa mansukhih, yakni satu cabang ilmu hadis yang membahas hadits-hadits yang tampak mengandung makna saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan; baik dengan memperhatikan matan hadits; apakah mengandung penegasan adanya naskh dari Rasulullh saw sendiri atau para sahabatnya, atau dengan mengkaji kronologi waktu munculnya hadits, untuk diketahui mana diantaranya yang naskh dan mana yang mansukh. Untuk mengetahui pembahasan lebih jauh dan mendalam menyangkut masalah nasakh ini hendaklah kembali kepada kitab-kitab ushul fiqh.[9]
3. Penyelesaian Dengan Menggunakan Metode Tarjih
Ketika hadits-hadits mukhtalif yang ditemukan tidak biasa dikomromikan dan tidak pula ditemukan antara satu dengan yang lainya telah terjadi naskh, maka langkah penyelesaian berikutnya di tempuh al-Syafi’i adalah cara tarjih.
Tarjih dirumuskan oleh para ulama, dapat diartikan sebagai “ memperbandingkan dalil-dalil yang tampak bertentangan untuk dapat mengtahui manakah diantaranya yang lebih kuat diantara yang lainya”. Dalam pengertian sederhana, tarjih adalah suatu upaya komparatif untuk menentukan mana yang lebih kuat dari hadits-hadits yang tampak ikhtilaf. Sebagai salah satu langkah metodologis, penggunaan tarjih tidak bersifat opsi. Karena itu, penerapannya tanpa didahului oleh penggunaan dua metode sebelumnya, akan mengundang konsekuensi yang besar berupa pengabaian sebuah sunnah sebagai akibat memilih atau menguatkan hadis tertentu. Atas dasar inilah agaknya tidak ditemukan ulama yang mengatakan boleh melakukan tarjih pada hadis mukhtalif sebelum terlebih dahulu didekati melalui pendekatan al-jam’u wa taufiq.
Kekuatan atau hujjah suatu hadits didukung oleh banyak hal, baik menyangkut sanad maupun matn. Dalam men-tarjih, hal-hal yang menyangkut sanad dan matn dan hal-hal yang ada kaitanya dengan nilai hujjah hadits tersebut, dikaji secara rinci dan mendalam dan diperbandingkan antara satu dengan yang lainnya dapat diketahui manakah sebenarnya di antara hadits yang lebih tinggi nilai hujjahnya dan mana yang lemah. Maka dengan demikian pertentangan yang tampak sudah dapat diselesaikan, yakni dengan memegang dan mengamalkan yang lebih kuat dan meninggalkan yang lemah.
Dalam men-tarjih, sebenarnya banyak hal yang bisa dikaji dan diperbandingkan di antara hadis-hadis yang bertentangan tersebut baik menyangkut sanad maupun matan. Meskipun demikian, secara garis besar pentarjihan tersebut tidak terlepas dari empat hal pokok, yaitu: 1) dari segi sanad; 2) dari segi matan; 3) dari segi madlul, dan 4)dari segi halhal lain yang turut mendukung nilai hadis tersebut.
Tentang bagaimana cara men-tarjih suatu hadits, karena rumit dan banyak hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, terdapat uraian yang relatif panjang dari para ahli hadits dan ahli ushul. Seperti yang dikatakan oleh Al-‘Iraqi lebih dari seratus kemungkinan, dan semua itu kalau disimpulkan dapat dibedakan dalam tujuh katagori:
1) Tarjih dengan memperhatikan keadaan periwayat dalam segala aspeknya.
2) Tarjih dengan memperhatikan aspek Tahammul.
3) Tarjih dengan memperhatikan cara periwayatan.
4) Tarjih dengan Waktu Wurud.
5) Tarjih dengan memperhatikan lafal khabar, seperti mentarjih khabar yang bersifat khash atas yang bersifat ‘am, dan mendahulukan hakikat atas majaz.
6) Tarjih memperhatikan aspek hukum, seperti mentarjih nas yang menunjukkan kepada haram yang menunjukkan kepada mubah
7) Mentarjih dengan faktor luar seperti kesesuaian dengan lahir Al-Qur’an atau sunnah lain, dengan kias, amal ulama terutama para Khalifah, dan sebagainya.[10]
4. Penyelesaian Dengan tanawwu’al-ibadah
Imam syafi’i juga memberikan bagaimana cara-cara penyelesaian dengan tanawwu’al-ibadah, imam Syafi’i memasukan masalah tanawwu’al-ibadah kedalam katagori hadits-hadits mukhtalif dalam pembahasanya.
Ibnu Manzhur mengungkapkan, “ an-nau’ dan anwa” berarti jamaah (sekumpulan). Yakin setiap macam dari sesuatu dan setiap varian baju, buah-buahan dan sebagian. Kata annau’
lebih spesifik dibandingkan kata al-jinsu (jenis).
Secara istilah Tanawwu’ al Ibadah ialah hadits-hadits yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Nabi SAW, akan tetapi antara satu dengan yang lainnya tedapat perbedaan sehingga mengambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanan ibadah tersebut.
Masalah yang muncul dari tanawwu’al-ibadah bagaimana menghadapinya haruskan ada satu yang diamalkan dan satu haru di tolak. Imam Syafi’i mengatakan bahwasannya hadits-hadits tersebut satu dengan lainya tidaklah mengandung makna yang saling bertentangan sebagaimana yang halal dengan yang haram, atau antara petintah dan larangan”. Dengan arti, tidak mungkin dikompromikan atau di cari titik temunya.
Daniel Juned seorang yang mendapatkan gelar doktor dalam bidang ilmu hadits dosen Program Pascasarjana IAIN ar-Raniry Banda Aceh, menjelaskan kembali terlihat bahwasanya dalam batasan makna yang dikemukakan Syafi’i di atas bahwa dua hadits disebut mukhtalif jika keduanya mengandung makna yang bertentangan antara yang Halal dan Haram, atau Makruh dan Sunnah. Selama tidak ada pertentangan seperti itu, hadits-hadits yang tampak mukhtalif tersebut dikatagorikan sebagai hadits ikhtilafal-mubah artinya kedua atau hadits-hadits tentang ibadah yang beragam ini dapat diamalkan semuanya dan tidak perlu dilakukan naskh atau tarjih.
Edi Safri memahami landasan menuju ke pemahaman tersebut yakni: 1) bahwa hadits-hadits tersebut berkualitas sahih, karena itu semua dapat diterima dan dijadikan hujah,2) bahwa ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing hadits tersebut sekalipun terdapat perbedaan, namun satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan atau dicari titiktemunya, 3) bahwa dalam masalah ibadah tidak biasa mempertanyakan kenapa atau kenapa demikaian, melainkan haruslah menerima dan mengikuti apa-apa yang diajarkan Nabi SAW.
Jadi dalam menghadapi hadits-hadits tanawwu’al-ibadah, pertama harus diperhatikan apakah hadits-hadits tersebut semua Maqbulatau sebaliknya, kedua kemudian hendakalah dipelajari apakah perbedan ajaran yang dikandung oleh masing-masing membawa kepada pertentangan atau tidak. Jika ternyata semua dalam katagori Maqbul dan perbedan yang ada tidak membawa pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadits-hadits tersebut semua haruslah diterima dan diakui kehujjannya untuk diikuti dan diamalkan.[11]
5. Pendekatan hermeneutik-kritis dalam pemaknaan hadis-hadis mukhtalif Sebagai upaya pengembangan metode pemaknaan hadis-hadis mukhtalif perlu dirumuskan ilmu Mukhtalif al-H}adi>s\ dengan pendekatan hermeneutik-kritis. Selain bertujuan mengungkap makna yang sebenarnya dari teks hadis, pendekatan ini juga mengajak para peneliti untuk melepaskan diri dari ideologi atau pemikiran yang membatasi munculnya inovasi pemikiran dan paradigma baru dalam studi hadis. Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, paradigma setiap ilmu bukanlah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, melainkan sebuah perjalanan panjang yang tidak mengenal kata berhenti. Ilmu akan tetap berjalan mengikuti proses yang berlangsung sehingga paradigma ilmu saat ini merupakan hasil dari proses masa lalu sekaligus menjadi paradigma yang terus berproses menjadi paradigma masa depan.
Dalam konteks saat ini, pendekatan dalam Ilmu Mukhtalif al-H}adi>s\ ada baiknya diperkuat dengan ilmu bantu lainnya yang termasuk dalam kategori ilmu sosial dan Humaniora. Hal ini cukup beralasan karena tantangan studi hadis saat ini tidak lagi sama dengan masa para ulama penulis Ilmu Mukhtalif al-H}adi>s\ \ pada abad ke-2 sampai ke-3 Hijriah.
Jika pada masa-masa awal tantangan studi hadis adalah seputar masalah otoritas (h{ujjiyah) hadis sebagai sumber hukum Islam, maka saat ini hal itu tidak terlalu dipermasalahkan.
Untuk mencapai tujuan tersebut Ilmu Mukhtalif al-H}adi>s\ perlu diperkaya dengan pendekatan hermeneutik. Hermeneutika sering diartikan sebagai metode understanding of understanding. Metode ini sangat sesuai diterapkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan (geistenwissenschaften) yang objeknya adalah ekspresi kehidupan (lebensaeusserung) meliputi konsep, tindakan dan penghayatan (erlebnis) manusia. Karena itu, ilmu-ilmu kemanusiaan secara metodologis menggunakan metode verstehen (memahami) berbeda dengan ilmu-ilmu alam yang menggunakan metode erklaren (menjelaskan hubungan kausalitas).[12]




BAB III

Simpulan
Sejalan dengan prinsip di atas, maka cara-cara yang ditempuh dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif sebagaimana dapat di ambil kesimpulan , secara garis besarnya dapat dikalsifikasi ke dalam bentuk penyelesaian, yakni:1) penyelesaian dalam bentuk kompromi, 2) penyelesaian dalam bentuk naskh, 3) penyelesaian dalam bentuk tarjih, Imam al-Syafi’i juga memasukkan hadits-hadits masalah Tanawwu’al-Ibadah,4) penyelesaian Tanawwu’al-Ibadah ke dalam 5) penyelesaian dalam bentuk Pendekatan hermeneutik-kritis dalam pemaknaan hadis-hadis mukhtalif




Daftar Pustaka
 SOHARI, HADITS MUKHTALIF DAN SOLUSI APLIKASINYA
Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i
Sri Aliyah, M.Pd.I,  TEORI PEMAHAMAN ILMU MUKHTALIF HADITS, Edisi Juni 2014
Arif Wahyudi, KONTROVERSI HADITS-HADITS MENANGISI MAYAT DALAM PERSPEKTIF MUKHTALIF HADITS , Jurusan Syariah STAIN Pamekasan, Jl Raya Panglegur km. 04 Pamekasan, email: ariyos.wahyudi@yahoo.com
Muhammad Irfan Helmy , PEMAKNAAN HADIS-HADIS MUKHTALIF MENURUT ASY-SYA@FI'I@: Tinjauan Sosiologi Pengetahuan
      


[1] SOHARI, HADITS MUKHTALIF DAN SOLUSI APLIKASINYA
[2] Kaizal Bay: Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i
[3] Sri Aliyah, M.Pd.I,  TEORI PEMAHAMAN ILMU MUKHTALIF HADITS, Edisi Juni 2014
[4] Sri Aliyah, M.Pd.I,  TEORI PEMAHAMAN ILMU MUKHTALIF HADITS, Edisi Juni 2014
[5] Arif Wahyudi, KONTROVERSI HADITS-HADITS MENANGISI MAYAT DALAM PERSPEKTIF MUKHTALIF HADITS , Jurusan Syariah STAIN Pamekasan, Jl Raya Panglegur km. 04 Pamekasan, email: ariyos.wahyudi@yahoo.com

[6] Sri Aliyah, M.Pd.I,  TEORI PEMAHAMAN ILMU MUKHTALIF HADITS, Edisi Juni 2014
[7] SOHARI, HADITS MUKHTALIF DAN SOLUSI APLIKASINYA
[8] SOHARI, HADITS MUKHTALIF DAN SOLUSI APLIKASINYA

[9] Sri Aliyah, M.Pd.I,  TEORI PEMAHAMAN ILMU MUKHTALIF HADITS, Edisi Juni 2014
[10] Sri Aliyah, M.Pd.I,  TEORI PEMAHAMAN ILMU MUKHTALIF HADITS, Edisi Juni 2014
[11] Sri Aliyah, M.Pd.I,  TEORI PEMAHAMAN ILMU MUKHTALIF HADITS, Edisi Juni 2014
[12] Muhammad Irfan Helmy , PEMAKNAAN HADIS-HADIS MUKHTALIF MENURUT ASY-SYA@FI'I@: Tinjauan Sosiologi Pengetahuan

Komentar

Postingan Populer