Manajemen Komplik Dalam Organisasi


BAB I
PENDAHULUAN
                  A.    Latar Belakang
Setiap organisasi, termasuk sekolah, menuntut anggotanya untuk melakukan kerjasama dalam harmoni. Agar keharmonisan organisasi tetap terjaga diperlukan pengaturan, pengendalian, dan penataan agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Setiap kelompok dalam organisasi tersebut, di dalamnya pasti akan terjadi interaksi antara satu dengan lainnya yang memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Kecenderungan terjadinya konflik dalam suatu organisasi, dapat disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai macam kepribadian individu. Konflik juga sangat berkaitan erat dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan beban kerja. Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya kemarahan yang akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan bisa menurunkan produktivitas kerja organisasi sekolah secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Hal ini terjadi karena di satu sisi orang-orang yang terlibat dalam organisasi sekolah mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbedabeda. Sedangkan di sisi lain adanya saling ketergantungan antara satu dengan yang lain yang menjadi karakter setiap organisasi. Sehingga suatu konflik bisa berupa sekecil bentuk ketidaksetujuan ataupun sebesar peperangan dan pada kenyataannya semua manusia pasti mengalami konflik, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Suatu hal yang mustahil apabila menghilangkan konflik dari dalam organisasi, sehingga yang diperlukan bukan menghindari konflik namun lebih pada mengelola konflik. Agar suatu organisasi dapat mengelola konflik sehingga bermanfaat bagi organisasi tersebut, maka dibutuhkan langkah yang tepat dalam mengatasi konflik. Sebab tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat menguntungkan organisasi sebagai suatu kesatuan. Dalam menata konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan, kesabaran serta kesadaran semua pihak yang terlibat maupun yang berkepentingan dengan konflik yang terjadi dalam organisasi. Kepala sekolah dituntut dapat menyikapi serta mengatasi konflik melalui manajemen sebagai alat untuk mencapai tujuan dari satuan pendidikan. Sehingga kepala sekolah tidak boleh membiarkan begitu saja konflik yang terjadi ataupun malah menghindarinya, tetapi ia harus menghadapinya melalui manajemen konflik yang merupakan tataran manajemen baru yang dapat mendinamisasikan organisasi sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan.[1]
Dalam setiap organisasi yang melibatkan banyak orang, disamping ada proses kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi, tidak jarang juga terjadi perbedaan pandangan, ketidakcocokan, dan pertentangan yang bisa mengarah pada konflik. Di dalam organisasi manapun seringkali terdapat konflik, baik yang masih tersembunyi maupun yang sudah muncul terang-terangan. Dengan demikian, konflik merupakan kewajaran dalam sebuah organisasi, termasuk dalam lembaga pendidikan. Meskipun konflik merupakan sebuah kewajaran, namun tetap saja diperlukan manajemen konflik yang baik dan terencana sehingga konflik tidak menjadi gerbang kehancuran bagi sebuah lembaga pendidikan.[2] Dalam makalah ini mencoba membahas tentang manajemen konflik dalam pendidikan dengan bahasan tentang Manajemen Konflik dalam Organisasi.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa definisi konflik dalam organisasi?
2.      Bagaimana cara mengelola konflik di lembaga pendidikan?
C.    Tujuan Penelitian
Adapaun tujuan penelitian sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui definisi konflik
2.      Untuk mengetahui cara-cara mengelola konflik di lembaga pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konflik dalam Organisasi
Dalam setiap organisasi yang melibatkan banyak orang, disamping ada proses kerja sama untuk mencapai tujuan organisasi, tidak jarang juga terjadi perbedaan pandangan, ketidakcocokan, dan pertentangan yang bisa mengarah pada konflik. Didalam organisasi manapun terdapat konflik, baik yang masih tersembunyi maupun yang sudah muncul terang-terangan. Dengan demikian, konflik merupakan kewajaran dalam suatu organisasi, termasuk dalam lembaga pendidikan islam.[3]
Konflik berasal dari kata kerja Latin Configere yang berarti saling memukul. Dalam kamus bahasa indonesia konflik berarti percecokan, perselisihan, dan pertentangan. Sedangkan secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Menurut Luthans, konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Sedangkan menurut Asnawir dalam bukunya manajemen penidikan, konflik adalah reaksi yang timbul karena seseorang merasa terancam, baik teritorialnya maupun kepentingannya, dengan menggunakan kekuatan untuk mempertahankan teritorialnya atau kepentingan tersebut. Sementara Robbins dalam "Organization behaviour" menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.[4]
Menurut Miles dalam Steers, menjelaskan bahwa istilah "konflik" merunjuk pada suatu kondisi dimana dua kelompok tidak mampu mencapai tujuan-tujuan mereka secara simultan. Dalam konteks ini perbedaan dalam tujuan merupakan penyebab munculnya konflik. Pendapat tersebut sejalan dengan batasan konflik yang diberikan oleh Dubin sebagaimana juga dikutip oleh Sulistyorini dan Muhammad Fathurrohman bahwa konflik berkaitan erat dengan suatu motif, tujuan, keinginan, atau harapan dari dua individu atau kelompok tidak dapat berjalan secara bersamaan (incompatible). Adanya ketidaksepakatan tersebut dapat berupa ketidaksetujuan terhadap tujuan yang ditetapkan atau bisa juga terhadap metode metode yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Menurut Hardjana bahwa konflik adalah perselisihan, pertentangan antara dua orang atau dua kelompok dimana perbuatan yang satu berlawanan dengan yang lainnya sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah akibat dari ketidaksepamahaman dan ketidaksesuaian baik antar individu ataupun kelompok dalam hal memenuhi tujuan yang berakibat pada terganggunya masing-masing individu atau kelompok tersebut.[5]
Afzalur Rahim menyatakan konflik dapat didefinisikan sebagai keadaan interaktif yang termanifestasikan dalam sikap ketidakcocokan, pertentangan, perbedaan dengan atau anatara insentitas sosial seperti individu-individu, kelompok-kelompok atau organissai-organisasi. Sedangkan Wahyosumidjo yang mendefinisikan sccara simple, konflik adalah segala macam bentuk hubungan anatar manusia yang mengandung sifat berlawanan.
Konflik menimbulkan akibat-akibat atau resiko-resiko tertentu, disamping juga terkadang membawa dampak positfnya. G.W Allport sebagaimana dikutip Hanson, menyatakan bahwa semakin banyak sarjanan sosial yang memaparkan bahwa konflik itu sendiri bukan kejahatan, tetapi lebih merupakan suatu gejala yang memiliki pengaruh-pengaruh konstruktif atau destruktif, tergantung pada manajemennya.[6]
Setidaknya ada dua pandangan yang bahkan telah menjadi semacam aliran yang ckstrem berlawanan secara dimetris tentang konflik. Perbedaan pandangan ini bisa jadi terkait dengan akibat atau pengaruh ganda konflik tersenut. Pandangan pertama menganggap bahwa konflik merupakan suatu gejala yang membahayakan dan pertanda instabilitas organisasi/lembaga. Implikasinya, manakala suatu lembaga sering memiliki konflik, berarti lembaga tersebut semakin tidak stabil dan rentan akan bahaya sehingga harus segera diatasi. Sebaliknya, pandangan kedua beranggapan bahwa konflik itu menunjukkan adanya dinamika dalam organisasi/ lembaga, yang bisa mengantarkan pada kemanjuan. Apabila dalam organisasi/ lembaga tidak ada konflik, justru ini menunjukkan tidak ada dinamika sama sekali yang berarti jauh dari realisasi kemajuan, kendatipun konflik juga harus dikelola dengan baik. Pandangan pertama menekankan bahwa konflik merupakan bahaya yang suatu saat bisa mengancam keberadaan dan kelangsungan organisasi/lembaga. Sementara itu, pandangan kedua menekankan bahwa konflik adalah tantangan yang dapat dijadikan rangsangan untuk memacu kemajuan lembaga/organisasi. Dalam pandangan kedua ini, terdapat usaha memacu kemajuan serta respons positif terhadap adanya konflik itu. Namun demikian, kedua pandanagn tersebut dapat disatukan dengan kesepakatan bahwa perlu adanya manajemen konflik.[7]

B.     Sumber dan Jenis Konflik
Menurut Smith[8] konflik dalam suatu organisasi, termasuk di dalamnya organisasi sekolah, pada dasarnya bersumber dari tiga hal, yaitu: masalah komunikasi, struktur organisasi dan faktor manusia itu sendiri.
1.      Kesalahan dalam komunikasi atau distorsi.
Suatu kebenaran yang dikemukakan dengan pola komunikasi yang tidak bersahabat, cenderung menjadi informasi yang diterima dengan tidak baik.
2.      Struktur organisasi
Struktur organisasi termasuk sektor penyumbang konflik yang tidak kecil, karena masing-masing unit organisasi memiliki tugas dan kepentingan yang bisa saling bergesekan dan berbenturan.
3.      Faktor manusia
Penyumbang konflik yang tidak kalah banyaknya adalah faktor manusia. Hal ini dimungkinkan karena adanya sifat-sifat kepribadian yang beragam dan unik. Setiap pribadi dapat saja memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Begitu juga sikap otoriter dan mau menang sendiri, dogmatis, individualistis, dan sifat-sifat pribadi lainnya. Kesemuanya itu dapat menimbulkan konflik di tubuh organisasi.




Schmuck[9] mengemukakan ada empat unsur yang menjadi sumber konflik, yaitu:
1.      Adanya perbedaan fungsi dalam organisasi;
2.      Adanya pertentangan kekuatan antar pribadi dan sub sistem;
3.      Adanya perbedaan peranan, dan
4.      Adanya tekanan yang dipaksakan dari luar organisasi.
Sementara itu, menurut Mulyasa[10] ada beberapa hal yang menjadi sumber konflik, yaitu:
1.      Perbedaan pendapat,
2.      Salah paham,
3.      Merasa dirugikan, dan
4.      Terlalu sensitif.
Selain itu Didin Hafiduddin dan Hendri Tanjung[11] mengemukakan beberapa hal yang menjadi sumber terjadinya konflik, yaitu:
1.      Perbedaan latar belakang keluarga,
2.      Perbedaan latar belakang pendidikan,
3.      Perbedaan kebiasaan-kebiasaan,
4.      Kesenjangan kompensasi yang mencolok, dan
5.      Sikap pemimpin yang tidak manusiawi.
Selanjutnya, menurut Asnawir, secara umum konflik tersebut dapat dikelompokkan kepada dua kelompok:
1.      Konflik fungsional; adalah konflik yang dapat memberikan keuntungan kepada organisasi. Pertentangan dan perselisihan yang terjadi dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi orga-nisasi. Konflik semacam ini merupakan konflik yang diper-lukan dalam organisasi untuk menumbuhkan kreativitas.
2.      Konflik disfungsional; yaitu konfrontasi dan pertentangan yang terjadi antar inidividu dan antar kelompok, yang dapat merugikan, merusak dan meng-halangi pencapaian tujuan orga-nisasi. Hal ini terjadi bila konflik tersebut berlarut-larut tanpa penyelesaian, hanya memakan pikiran, waktu, tenaga, dan lain-lain.
Menurut Panduan Manajemen Sekolah, konflik bisa tejadi pada semua tingkat, yaitu sebagai beikut:
1.      Konflik intrapersonal, yaitu konflik yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik interpersonal akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang yang mana yang harus dipilh untukdikatakan
2.      Konflik interpersonal, yaitu konflik antara dua individu atau lebih. Konflik yangterjadi ketika adanya perbedaan tetang isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana hasil bersama sangat menetukan.
3.      Konflik intra grup, yaitu konflik antar anggota dalam satu kelompok. Setiap kelompok dapat mengalami konflik substansif atau efektif. Konflik substansif dapat terjadi karena adanya latar belakang kehalian yang berbeda, ketika anggota dari sutu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tanggapan emosional terhadap situasi tertentu
4.      Konflik intergroup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya tuntutan akan keahlian
5.      Konflik intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu organisasi
6.      Konflik interorganisasi, yang terjadi antar organisasi. Konflik inter organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain, konflikterjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang meyebabkan dampak negatif terhadap organisasai lain. Misalnya konflik yang terjadi antara lembaga pendidikan dengan salah satu organisasi masayarakat. Konflik intra organisasi meliputi empat sub:
a.       Konflik vertical, yang terjadi antar pimpinan dan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk meyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara Rektor denga tenaga kependidikan.
b.      Konflik horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen yang memiliki hierarki yang sama dalam organisasi. Misalnya anatar tenaga kependidikan
c.       Konflik lini-staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajerlini. Misalnya konflik antar rektor dengan tenaga administrasi
d.      Konflik peran. Misalnya rektor menjabat sebagai ketua dewan pendidikan.[12]
Jenis dan bentuk konflik itu memiliki implikasi dan konsekuensi bagi manajer lembaga pendidikan Islam. Karena manajer memiliki peran yang fungsional dalam mengelola konflik dan diharapkan mampu mengelolanya sebaik mungkin sehingga menghasilkan kepuasan bagi semua pihak, terutama pihak yang berkonflik. Setidaknya mereka tidak lagi membuat ulah yang berpotensi menyulut konflik baru pasca penyelesaian konflik. Disamping itu, hal ini juga menuntut manajer untuk bisa memberi teladan bagi dirinya sendiri dan tentu orang lain.
C.    Cara Mengelola Konflik
Dalam bukunya Manajemen Pendidikan Berbasis Madrasah[13] Syukur menjelaskan bahwa untuk mengatasi konflik, manajemen konflik memiliki beberapa cara mengelola konflik:
1.      Identifikasi Konflik
Tahap ini merupakan tahap identifikasi masalah yang terjadi, untuk menentukan sumber penyebab dan pihak-pihak yang terlibat. Dalam mengidentifikasi mencermati peristiwa sehari-hari kemudian menemukan tantangan dan adakah pertentangan-pertentangan di dalamnya atau tidak. Bila sejak awal konflik itu kita amati dan hati-hati untuk mengubah kejadian-kejadian dan mengelola emosi maka tahap identifikasi ini akan mampu mengelola konflik yang terjadi nanti.
2.      Penilaian Konflik
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui kondisi konflik dan penilaian dalam mengidentifikasi. Apakah konflik sudah mendekati titik rawan, dan perlu diredam agar tidak menimbulkan apakah masih pada titik kritis yang dapat menimbulkan dampak positif, atau baru dalam tahap tersembunyi, sehingga perlu diberi stimulus agar mendekati memberikan dampak positif. serta dampak negatif, titik kritis dan

3.      Pemecahan Konflik
Tahap ini merupakan tindakan untuk memecahkan masalah, memberi stimulus jika masih dalam tahap tersembunyi dan perlu dibuka. Kasus-kasus yang terjadi serta data-data sesudah dinilai. Dengan memperhatikan hal tersebut maka selanjutnya adalah mengatasi atau memecahkan masalah konflik yang ada dengan cara yang terbaik.
Dalam menyelesaikan konflik dibutuhkan pendekatan-pendektan psikologis. Karena menyangkut perasaan, kesadaran, dan suasana batin seseorang yang sedang berkonflik. Oleh karean itu, Menurut Djohra, cara kreatif dalam menyelesaikan konflik biasanya memerlukan waktu yang lama, kesabaran, dan kedewasaan emosional,sehingga bisa menghasilkan win-win solution. Suatu hasil yang memuaskan semua pihak yang menjadi harapan bersama dalam setiap penyelesaian konflik sehinggakonflik benar-benar bisa teratasi secara tuntas.[14]
Selanjutnya ada kecendrungan tertentu dalam mengatasi konflik. Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat dilakukan dalam penanganan konflik:
1.      Penghindaran diri, kecendrungan ini terjadi bila kegigihan dan kerjasama pihak-pihak yang terlibat konflik rendah, sehingga konflik tidak tampak
2.      Kompetesi, kecendrungan ini terjadi bila pihak-pihak yang terlibat konfliksulit untuk bekerja sama. Biasanya pihak yang kuat akan menang danmemaksakan kehendaknya kepada yang lemah
3.      Penyesuaian diri, kecendrungan ini terjadi bila kemauan bekerja samadiantara mereka sangat baik, tetapi kegigihannya rendah. Disini yang di pentingkan adalah menjaga hubungan antar individu
4.      Kompromi, kecendrungan ini terjadi bila kegigihan maupun kemauan kerjasama antar pihak yang terlibat konflik sedang-sedang saja
5.      Kolaborasi, kecendrungan ini terjadi bila kegigihan dan kemauan untuk bekerja sama ternyata sama-sama tinggi. Pola inilah yang biasanyamemberikan penyelesaian terbaik.
Dari kelima kecendrungan tersebut, kolaborasi merupakan kecenderungan penyelesaian konflik yang terbaik. Karena, pihak-pihak yang berkonflik memiliki komitmen kuat untuk meyelesaikan konflik secara transparan dan tuntas dengan mengidentifikasi akar masalah yang meyebabkan penyelesaian yang memuaskan bagisemua pihak (win win solution). Cara penyelesaian seperti ini yang paling diharapkan oleh mediator atau perunding, walau kadang tidak mudah karena membutuhkan kesadaran semua pihak yang terlibat untuk benar-benar menyelesaikan konflik. Artinya, mereka harus sadar untuk tidak lagi mengedepankan kemenangan pribadi, tetapi lebih mempriotaskan kemenangan bersama, sehingga penyelesaian tersebut memiliki jangkaun waktu yang permamen dan bobot penyelesaian yang kokoh.[15]
D.    Dampak Positif Konflik
1.      Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada guru atau tenaga pendidik yang absen tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap guru atau tenaga pendidik menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2.      Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
3.      Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya peningkatan prestasi pertahanan diri bila memperoleh teguran dari manajer.[16]

E.     Tinjauan Pendidikan Islam tentang Penanganan Konflik
Perbedaan pendapat sebenarnya tidak selalu jelek, bahkan ada ungkapan yang popular di kalangan umat islam:
“Perbedaan dikalangan umatku adalah rahmat”
Dalam hal perbedaan pendapat itu justru membawa kebaikan. Tentu ada syarat-syarat yang terpenuhi, antara lain sebagai berikut:

1.      Perbedaan pendapat itu dalam upaya mencari kebenaran
2.      Orang yang berpendapat harus menghargai pendapat orang lain
3.      Orang yang berpendapat bersikap terbuka
4.      Pendapat yang dimunculkan bukan untuk meyerang atau menjatuhkan oranglain.
5.      Pendapat yang disanpaikan didasari perasaan tulus dan penuh kesadaran
6.      Pendapat yang disampaikan mampu memperkaya wawasan, konsep, pertimbangan, informasi, dan sebagainya.
Jadi idealnya perbedaan pendapat itu justru harus bisa menghasilkan hal positif. Untuk menghadapi perbedaan yang mengarah kepada konflik,[17] Abuddin Nata memandang perlu dikembangkan beberapa etika berikut ini:
1.      Melihat perbedaan sebagai suatu yang harus diterima.
2.      Menyadari bahwa pendapat yang dikemukakan seseorang mungkinmengandung kebenaran atau kesalahan
3.      Bersikap terbuka, mau menerima pendapat, saran dan kritik orang lainkarena mungkin pendapat kita keliru
4.      Bersikap objektif, lebih berorientasi kepada kebenaran, dan bukan pembenaran
5.      Tidak memandang perbedaan pendapat sebagai pertentangan atau permusuhan, tetapi khazanah dan kekayaan yang amat berguna utukmemecahkan berbagai masalah.
Saran tersebut tidak bermaksud membenarkan pendapat yang dikemukakan setiap orang. Kita harus berani mengatakan bahwa pendapat tersebut salah dan harusditolak apabila bertentangan dengan nilai-nilai kandungan Al-qur’an dan sunnah, bertentangan dengan akhlak mulia, mengajak permusuhan, merusak akidah islam, dan bertentangan dengan akal sehat, merusak persatuan dan kesatuan lain sebagainya. Namun, penolakan itu harus dilakukan dengan etika yang luhur dan penuh kesopanan.
Disisi lain, apabila perbedaan pendapat yang mengarah pada konflik itu tidak dapat di bendung, maka konflik yang sesungguhnya akan terjadi dan gejala ini harus diatasi. Dalam Qur’an surah An-nisa ayat 35, Allah SWT, berfirman yang artinya:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberitaufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini memberi pemahaman bahwa:
1.      Anjuran untuk sesegera mungkin menyelesaikan konflik secara dini
2.      Cara menyelesaikan konflik adalah melalui mediator yang disebut hakam
3.      Mediator (hakam) merupakan sosok prbadi yang benar-benar bisa diteladani
4.      Mediator (hakam) itu sebayak 2 (dua) orang yang mewakili masing-masing pihak
5.      Keinginan kuat untuk melakukan ishlah (penyelesaian konflik) dari masing-masing pihak
Disamping itu, ayat tersebut juga memberi gambaran tentang penyelesaian konflik. Para manajer harus memperhatikan berbagai proses penyelesaian konflik, cara penyelesaian, syarat orang yang menyelesaikan, dan niat baik dari pihak-pihak konflik. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya tentang mengendalikan konflik dalam kepemimpinan, ada beberapa cara mengatasi konflik, diantaranya dengan caranegoisasi. Negoisasi adalah tindakan yang menyangkut pandangan bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan oleh pihak yang berkonflik secara besama-sama dengan melibatkan pihak ketiga, yang dikahiri dengan perdamaian.[18]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Konflik adalah akibat dari ketidaksepamahaman dan ketidaksesuaian baik antar individu ataupun kelompok dalam hal memenuhi tujuan yang berakibat pada terganggunya masing-masing individu atau kelompok tersebut.
Manajemen konflik memiliki beberapa cara mengelola konflik, diantaranya: Identifikasi Konflik, tahap ini merupakan tahap identifikasi masalah yang terjadi, untuk menentukan sumber penyebab dan pihak-pihak yang terlibat. Penilaian Konflik, tahap ini dilakukan untuk mengetahui kondisi konflik dan penilaian dalam mengidentifikasi. Pemecahan Konflik, tahap ini merupakan tindakan untuk memecahkan masalah, memberi stimulus jika masih dalam tahap tersembunyi dan perlu dibuka.
B.     Saran
Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.  Dengan sebuah pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan dari banyaknya sumber Penulis akan memperbaiki makalah tersebut. Oleh sebab itu penulis harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.









DAFTAR PUSTAKA
Asnawir. 2006. Manajemen Pendidikan. Padang: IAIN IB Press.
Bashori, 2017. manajemen konflik di tengah dinamika pondok pesantren dan madrasah. Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2.
Fatah, Syukur. 2011. Manajemen Pendi-dikan Berbasis pada Madrasah. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Hendyat, Soetopo. 2010. Perilaku Orga-nisasi, Teori dan Praktek di Bidang Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hidayat, Rahmat. 2016. Manajemen Pendidikan Islam. Medan : LPPI.
Muliati, Indah. 2016. Manajemen Konflik Dalam Pendidikan Menurut Perspektif Islam, UPT-MKU Universitas Negeri Padang. Vol. XII No. 1.
Qamar, Muzammil. 2010. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta : Erlangga.
Sari, Maida. 2017. Implementasi Manajemen Konflik dalam Penyelesaian Masalah. Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Raden Intan Lampung.
Zulkarnain, Wildan. Manajemen Konflik dalam Pelaksanaan Pendidikan di Sekolah, Jurusan Administrasi Pendidikan FIP Universitas Negeri Malang. Diakses melalui http://ap.fip.um.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/14-Wildan-Zulkarnain.pdf




[1] Wildan Zulkarnain, Manajemen Konflik dalam Pelaksanaan Pendidikan di Sekolah, Jurusan Administrasi Pendidikan FIP Universitas Negeri Malang. Diakses melalui http://ap.fip.um.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/14-Wildan-Zulkarnain.pdf
[2] Indah Muliati, Manajemen Konflik Dalam Pendidikan Menurut Perspektif Islam, UPT-MKU Universitas Negeri Padang. Vol. XII No. 1 Th. 2016.
[3] Muzammil Qamar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta : Erlangga, 2010), h. 235
[4] Rahmat Hidayat, Manajemen Pendidikan Islam, (Medan : LPPI, 2016) h. 178
[5] Bashori, manajemen konflik di tengah dinamika pondok pesantren dan madrasah. Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, h. 365
[6] Muzammil Qamar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta : Erlangga, 2010), h. 235
[7] Muzammil, h. 236
[8] Soetopo Hendyat. Perilaku Orga-nisasi, Teori dan Praktek di Bidang Pendidikan. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 63
[9] Syukur Fatah. Manajemen Pendi-dikan Berbasis pada Madrasah. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), p. 48
[10] Asnawir. Manajemen Pendidikan. (Padang: IAIN IB Press, 2006), p. 53
[11] Asnawir, h. 53
[12] Rahmat Hidayat, Manajemen Pendidikan Islam (Medan : LPPI, 2016) h. 184-186
[13] Syukur Fatah. Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011).
[14] Muzammil Qamar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta : Erlangga, 2010), h. 245
[15] Muzammil, h. 188
[16] Maida Sari, Implementasi Manajemen Konflik dalam Penyelesaian Masalah. (Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Raden Intan Lampung, 2017) h. 42
[17] Muzammil, h. 241
[18] Rahmat, Hidayat, Manajemen Pendidikan Islam, (Medan : LPPI, 2016), h. 193-194

Komentar

Postingan Populer