Peluralisme Agama
Latar Belakang Masalah
Seiring dengan terbukanya kran demokrasi di era reformasi yang
ditandai dengan kebebasab berpendapat dan pikir, muncul pula istilah pluralisme
yang lalu menjadi perdebatan kaum liberal yang tidak kunjung selesai, dtidak
sedikit pula cendikiawan muslim yang mempapulerkan pelluralisme. muncul sebuah
pertanyaan besar, apa sesungguhnya pluralisme itu? Oleh beberapa kalangan,
pluralisme dinilai sebagai paham yang menyesatkan dan mengikis keyakinan umat
beragama contohnya pemikiran yang ditulis dalam jurnal (BAHAYA PLURALISME AGAMA
(Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham Pluralisme
Agama) OLEH : DR. ADIAN HUSAINI (Doktor Peradaban Islam dari
ISTAC-International Islamic University Malaysia/ Ketua Program Doktor
Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor). Namun, di sisi lain pluralisme adalah sebuah keniscayaan dan
perbedaan pandangan ini, sedikit banyak telah mempengaruhi rasa toleransi antar
umat beragama di Indonesia.Setelah diumumkanya oleh MUI Majlis Ulama Indonesia
bahwa peluralisme adalah haram . maka disitulah pembahasan peluralisme semakin sengit.dimana
ada banyak orang yang menggali tujuan dan makna sebenernya tentang peluralisme
terutama cendikiawan muslim yang ada di Indonesia. Apa yang melatarbelakang
putusan MUI mengena Fatwa tentang peluralisme. Menurut Khaled Abou el-Fadl,
bahwa salasatu kelemahan fatwa yang berkaitan dengan masalah kekinian adalah
hilangnya ketelitian, kesungguhan, kemenyeluruhan dankejujuran dalam membedah
sebuah persoalan.[1]
Pada kenyataanya peluralisme adalah peroduk orang liberal. Akan
tetapi cendikiawan muslimpun ikut andil dalam mengkaji makna daripada
peluralisme dari segi pemaknanan ada
yang lebih singkat. Imana mendepinisikan peluralisme adalah (semua Agama
benar.) Ada pula yang mendepinisikan secara panjang lebar sehingga peluralisme
perlu di jungjung tinggi. Lantas seperti apa sebenarnya tinjawan yang lebin
terperinci .
Sejalan dengan perkembangan pemikiran khususnya masalah teologi
agama (theology of religions) menjadi pokok perhatian dikalangan intelektual
muslim ataupun nonmuslim, claim kebenaran yang menjadi pangkal tumbuhnya sikap
eklusif agama yang selama ini membingkai umat dalam sekat-sekat keyakinan dan
keimanan kembali terusik, semua pemeluk agama dituntut melakukan sebuah
refleksi dan konstruksi pemahaman diri dalam kondisi pluralisme agama yang
semakin kuat dan sekaligus menjadi gerakan keagamaan yang dinamis dan
progressif telah memunculkan sebuah kesadaran ingin mempertahankan pemahaman
lama meskipun begitu banyak biaya, tenaga dan pikiran yang harus dikorbankan.
Kesadaran ini telah mengusik pemikir-pemikir keagamaan seperti Abdurrahman
wahid, Nurkholish Madjid, Sayyed Husen Nasr, Hans Kung, dan Jhon Hick,
keterlibatan mereka paling tidak sebagai upaya
menambah dan mengembangkan wawasan dan pemahaman keagamaan dalam konteks
pluralisme agama.
Diskursus keagamaan dapat dilacak dari beberapa pendekatan dan
sudut pandang ; Kebudayaan, normative
dan filsafat. Dilihat dari hubungan agama dan kebudayaan Khoirul muqtafa dalam
tulisannya tentang hal ihwal relasi agama dan kebudayaan membagi tiga fase ;
pertama, fase dimana agama dan kebudayaan dipandang sebagai dua komponen yang
sulit dipisahkan antara satu dan lainnya. Sehingga sulit melakukan diferensiasi
nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebudayaan. Kedua, fase dimana agama dan
kebudayaan mulai mengalami diferensiasi structural, agama dan kebudayaan mulai
menjadi institusi tersendiri. Ketiga; fase dimana diferenssiasi agama dan
kebudayaan semakin transparan dan mulai ada jarak interaksi keduanya1. Khoirul Muqtafa sangat nampak ingin
menegaskan bahwa secara social budaya agama bersifat dinamis dan progressif
seiring dengan tingkat perkembangan pemikiran dan peradaban.
Sebenarnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat toleran dan
mampu menghormati perbedaan, apapun latar perbedaan itu. Luas wilayah Nusantara
yang panjangnya saja hampir sama dengan panjang daratan Eropa, dengan aneka
suku, bahasa, dan agama, setidaknya menjadi bukti bahwa bangsa ini memang rela
hidup bersama dalam perbedaan. Kalau tidak, maka tidak akan mampu bertahan
selama ini, kendati hari-hari ini masyarakat Indonesia memang pantas khawatir
dengan keutuhan negeri ini. Benar, jika ada yang mengatakan bahwa Indonesia
adalah bangsa yang terkenal ramah kepada siapapun; bahkan ini menjadi icon dan
kebanggaan. Karena itu, Indonesia pantas tersentak, bingung, dan
bertanya-tanya; apa sebenarnya yang terjadi dengan anak bangsa ini? Mengapa
sekarang mereka cenderung bertambah beringas, sangat sensitif dan tidak lagi
toleran? Sebagian pengamat mengatakan bahwa penyebab dan akar persoalannya
adalah aspek keadilan, ekonomi, dan kemiskinan. Masyarakat Indonesia yang
Pembahasan
Pengertian Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata pluralis yang berarti jamak,
pluralizzing jumlah yang menunjukkan lebih dari dua yang mempunyai dualis,
sedangkan pluralisme sama dengan keadaan atau paham dalam masyarakat yang
majemuk bersangkutan dengan system social politiknya sebagai budaya yang berbeda-beda
dalam satu masyarakat[2].
Dalam istilah lain plualisme adalah sama dengan pemikiran yang menyatakan bahwa
kekuasaan, pemerintahan di suatu Negara harus dibagi-bagikan antara berbagai gelombang elmen masyarakat dan tidak
dibenarkan adanya monopoli suatu golongan.
Secara etimologis, peluralisme agama berasal dari dua kata
“peluralisme dan Agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi “At-ta’addudiyyah
al-diiniyyah” dan dalam bahasa ingris menjadi “religious pluralisem”.
Karena kata peluralisme agam bahasanya mengimpor dari Ingris, definisi
akuratnya harus dari bahasa ingris pula ada tiga pengertian “peluralism” pertama.
Pengeriain kegerejaan sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu
jabatan dalam sektuktur kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis berarti
sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar lebih
dari satu. Ketiga, pengertian sosial politisi : suatu sistem yang
mengakui kosksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran
maupun partai dengan tetap menjungjung tinggi aspek perbedaan yang sanagat
karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.[3]
Dalam kamus filsafat, Pluralisme mempunyai ciri-ciri sebagai berikut;
Pertama, Realitas fundamental bersifat jamak, berbeda dengan dualisme yang
menyatakan bahwa realitas fundamental ada dua dan monisme menyatakan bahwa
realitas fundamental hanya satu. Kedua; Banyak tingkatan hal-hal dalam alam
semesta yang terpisah tidak dapat diredusir dan pada dirinya independent.
Ketiga; Alam semesta pada dasarnya tidak ditentukan dalam bentuk dan tidak
memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan
kohern[4]
Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam
kajian agama-agama. Sebagai „terminologi khusus‟, istilah ini tidak dapat
disamakan dengan makna istilah „toleransi‟, „saling menghormati‟ (mutual
respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang
terhadap agama-agama yang ada, istilah „Pluralisme Agama‟ telah menjadi
pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama-agama (religious
studies).
Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama
adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut
paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama[5]. Tetapi
kita sebai pemeluk agama yang kita yakini cukuk mengklaem bahwa setiap agama
memiliki tujuan untuk mengajarkan kebaikan.adapun benar atau salah itu bagai
mana tuhan nanti. mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi manusia yang
relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya – maka
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya lebih
benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya
sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama
jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth
claim) atas agamanya sendiri.
Paham ini telah
menyerbu semua agama. Klaim-klaim kebenaran mutlak atas masing-masing agama
diruntuhkan, karena berbagai sebab dan alasan. Di kalangan Yahudi, misalnya,
muncul nama Moses Mendelsohn , yang menggugat kebenaran eksklusif agama Yahudi.
Menurut ajaran agama Yahudi, kata Mendelsohn, seluruh penduduk bumi mempunyai
hak yang sah atas keselamatan, dan sarana untuk mencapai keselamatan itu
tersebar sama luas – bukan hanya melalui agama Yahudi – bahwa agama yang benar
adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu tiruan dari agama Kristen dan
agama Yahudi.[6]
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural
society) dan multikultural
(multicultural society). Pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri utama
bangsa Indonesia yang multikultural, yaitu suatu konsep yang mengedepankan
pluralisme budaya. Budaya adalah istilah yang merujuk kepada semua aspek
simbolik yang dapat dipelajari dalam masyarakat, termasuk kepercayaan, seni,
moralitas, hukum dan adat-istiadat.
Pada masyarakat multikultural, konsepnya ialah bahwa di atas
pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun satu rasa kebangsaan dengan tetap
menghargai, mengedepankan dan membanggakan pluralisme masayarakat itu. Karenanya,
pluralisme di Indonesia adalah sebuah realita dari keragaman masyarakat dan
budaya. Ungkapan Bhinneka Tunggal Ika adalah simbol yang telah disepakati
bersama sebagai sebuah identitas dan kekayaan Nusantara.[7]
Perbedaannya Dengan Multikulturalisme Multikulturalisme adalah kesejajaran budaya. Masingmasing budaya
manusia atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada
yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Melihat istilah ini,
multikulturalisme berarti ingin menumbuhkan sikap ragu-ragu atau skeptis
sehingga yang ada hanya relatif. Kemudian juga Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A
dalam pengantar buku Pendidikan Multikultural mengatakan “ setiap peradaban dan
kebudayaan yang ada berada pada posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada
kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap tinggi (superior) dari kebudayaan
lain.
Ungkapan seperti inilah yang harus disikapi dengan arif dan bijak.
Ungkapan di atas bisa diartikan bahwa semua kebudayaan adalah sama tak ada yang
lebih tinggi. Jika hal ini yang dimaksud berarti istilah baik dan buruk adalah
memiliki makna yang sama. Sebab semua dipukul rata. Tidak ada yang lebih
unggul. Padahal dalam ajaran Islam suatu kebaikan adalah lebih tinggi
derajatnya dari sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang benar lebih mendapatkan
tempat dari pada kesalahan. Islam juga sangat jelas membendakan haq dan bathil,
muslim dan musyrik.
Dari kedua konsep tentang pluralisme dan multikulturalisme di atas
dapat difahami bahwa keduanya berorientasi pada tidak membeda-bedakan antara
masing masing komunitas untuk kontinuitas keharmunisan, tetapi kuduanya juga
mempunyai titik tekan yang berbeda, pluralisme lebih pada nilai-nilai agama, sedangkan
multikulturalisme pada nilai-nilai budaya.
Beberapa Pandangan Tentang Pluralisme dalam Islam
Islam memandang pluralisme sebagai sikap saling menghargai dan
toleransi terhadap agama lain, namun bukan berarti semua agama adalah sama
artinya tidak menganggap[8].Menurut
Alwi Shihab dalam bukunya Pengertian peluralisme dapat disimpulkan sebagai
berikut.[9]
a.
Peluralisme tidak semata menunjukan pada kenyataan tentang adanya
kemjmukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan
kemajmukan tersebut.
b.
Peluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Komsmoolitisme
menunjukan kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras bangsa hidup
berdampingan di suatu lokasi.
c.
Konsep peluralisme tidak dapat disamakan dengan realitivisme.
d.
Peluralisme agama bukanlah sinkeretisme, yakni menciptakan suatu
agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagai komponen ajaran dari
ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru
tersebut.
Sikap Islam Terhadap Agama Lain
Humanisme naturalis yang religius ingin memahami dimensi agama
sebagai sesuatu yang sepenuhnya natural, untuk mengatasi keterasingan yang kita
rasakan dalam eksistensi impersonal yang menggambarkan abad ini, harus kita
bangun kesatuan dalam keanekaragaman memaksa kita untuk mengunggah kembali
nilai yang agung dari humanitas zaman modern. Dalam perspektif teologis pada
dasarnya manusia telah ditentukan sejak berada dalam rahim, apakah dia Islam
atau bukan seperti itulah yang digambarkan secara normatif dari beberapa
tanggapan ulama, Nabi Muhammad sosok manusia paripurna termasuk nabi Ibrahim
As. Selalu memberikan keteladanan yang tinggi dalam merespon setiap
permasalahan yang muncul[10].
Dan banyak memberikan pintu jawaban untuk umatnya disetiap masa. Sehingga untuk
membangun keserasian dan keharmonisan dalam hidup marilah lihat persamaan persamaan
yang nantinya akan melahirkan kesejukan dan ketenangan lahir batin ditengah
pluralitas dan keanekaragaman budaya, bahasa, ras, dan adat istiadat yang
menjadi ciri masingmasing agama[11].
Islam memiliki rasa hormat terhadap agama lain sehingga selalu memberi rasa
aman dan jalan bagi agama lain yang tidak menentang secara perilaku yang
mengancam jiwa.”tidak ada paksaan untuk menganut agama(islam)sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah” (QS. Al-Baqarah :256) bahwa
masing-masing tokoh agama memiliki kewajiban terhadap umatnya. Artinya setiap
agama memiliki karakter dan sikap yang sama meskipun berbeda dalam tataran
syari’at namun semuanya akan kembali kepada-Nya . (QS. Thaha. 20 ; 88) ”Tuhan
kami dan Tuhan kamu sungguh adalah Allah Tuhan yang Esa”. Bahwa cara-cara
dakwah yang dilakukan umat islam harus tidak bermotip memaksa .
Menurut Muhamad Arkoun, justru islam akan meraih kejayaan jika
umatnya membuka diri terhadap peluralisme, seperti pada masa awal islam samai
abad pertengahan[12].
Sikap menghargai dan mendukung bahwa mereka beriman kepada nabi-nabi terdahulu
merupakan suatu kewajiban bagi umat Muhammad. Meskipun orang yahudi dan kristen
selalu mengklaim diri mereka memiliki Nabi dan keturunan yang mulia khusus
kepada umatnya namun Allah SWT. Pengakuan eksklusifime tersebut al-Qur’an
bantah dalam (QS. 4:163, QS. 3:84). Dari sekian ayat semuanya menunjukkan sikap
toleransi yang amat normatif terhadap semua agama artinya masing-masing
mempunyai nilai-nilai spiritual. Penghormatan Islam kepada Yahudi dan Kristen,
baik pendiri serta kitab suci keduanya bukanlah sekedar sopan santun, kata
Isma’il Al-Faruqi dalam bukunya berjudul ”Atlas Budaya Islam pengakuan ini
merupakan suatu sikap kebenaran religius. Islam memandang[13].
Ibnu Arabi memandang bahwa kesatuan transseden agama, antara lain terletak pada
agama cinta. Cinta dalam pandangan Ibnu Rabi, merupakan asensi dari sebuah
kredo, dan karenanya Ibnu Arobi menerima apapun keyakinan dan peresepsi umat
beragama terhadap yang diasumsikanya.[14]
Pada perinsipnya, islam adalah agama yang mengajarkan kepada pemeluknya dimana
saja dan kapan saja untuk melaksanakan toleransi harmoni, dan perdamayan.[15]
Pluralisme dalam Perspektif Al Quran
Sejatinya pluralisme telah memiliki landasan teologis yang cukup
kokoh dalam nilai dan ajaran Islam, tidak hanya dalam tataran teoritis seperti
yang mewujud dalam redaksi primer al Quran surat al Hujurat ayat 13:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Bahkan dari beberapa ulama terkemuka telah melakukan peluralisme
Al-Thabari, Ibnu Al-Paraby, Al-Zamakhsysri, al-Razi, Rasyid Ridha dan
al-Thabathaba. Yang menyepakati pemaknaan atas islam sebagai ajaran kepatuhan
dan kepasrahan.[16]
Kebebasan beragama sangat ditekankan dalam ajaran islam. Firman Allah dalam
Al-quran “lakum dinukum Waliyadin (QS. AlKahfi ) (Bagimu agamammu bagiku
agamaku.
tantangan Pluralisme terhadap kerukunan Umat Beragama di Indonesia
Indonesia merupakan sebuah bangsa majemuk (plural society) dengan
ragam budaya dan agama merupakan realitas empirik yang tidak dapat dipungkiri. Untuk
mewujudkan peluralisme, diperlukan toleransi[17].
Meskipun hampir semua masyarakat mengakui adanya kemajmukan sosial, namun dalam
kenyataanya, permasalahan toleran ini masih sering muncul, termasuk di dunia
barat.[18]Heldred
Geerts secara detail menggambarkan heterogenitas bangsa Indonesia dengan
mengatakan bahwa terdapat lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang
berbeda-beda di Indonesia, masing-masing kelompok mempunyai identitas budayanya
sendiri-sendiri, dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa yang berbeda-beda
yang dipakai. Hampir dari semua agama besar dunia diwakili, selain dari
agama-agama asli yang jumlahnya banyak sekali.
Kemajemukan memang bukan
merupakan fenomena yang baru untuk bangsa Indonesia. Beberapa pakar bahkan
menyebut Indonesia sebagai locus clasiccus, yaitu sebuah tempat klasik dari
pluralisme,[19]
dalam pandangan Gulam, sebenarnya toleransi sudah ada dalam sepirit masyarakat,
kita hanya membantu media untuk menyederhanaknya,[20] sehinga
dimana pluralisme sangat mewarnai tradisi politik dan praktek keagamaan orang
muslim di Indonesia. Oleh karena itu, tak heran jika John Vernable, seorang
pengamat politik Inggris, menciptakan dan menerapkan istilah plural society
khusus untuk Asia Tenggara, terutama Malaysia, Burma dan Indonesia.[21]
Akan tetapi kemajmukan renten dengan komplik Hal ini diamini oleh
antropolog terkenal asal Amerika, Robert W. Hefner, yang mengatakan bahwa
kemajemukan memang seringkali menjadi sumber ketegangan sosial[22]. Baru-baru
ini kasus di Papua serta beberapa daerah lainnya menjadi manifestasi empirik
yang menjelma sebagai indikasi penting bahwa Indonesia saat ini sedang
mengalami gejolak konflik yang luar biasa karena heterogenitas agama yang gagal
berdialog dengan baik dalam dinamika masyarakat dan paradigma beragama
eksklusif menjadi hegemoni dalam mindset sebagian masyarakat Islam Indonesia.
praktik-praktik yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi
kelompoknya, gerakan tersebut menggunakan berbagai cara, termasuk cara radikal
tidak hanya kepada kelompok di luar agama Islam, tetapi juga kelompok dalam
agama Islam itu sendiri.
Tentu problematika pluralitas agama, etnis dan budaya Indonesia ini
tidak dapat disebut sebagai satu-satunya tantangan yang harus dihadapi
masyarakat Indonesia. Modernisasi yang dialami secara global oleh seluruh
masyarakat dunia tak terkecuali Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri
yang tidak bisa dinafikan begitu saja.
Dalam konteks Indonesia sendiri, Islam dan negara memang telah
menjelma menjadi dua entitas yang sepanjang sejarah kemerdekaan senantiasa
mengalami pergumulan. Puncak pergumulan keduanya terjadi ketika diadakan Sidang
Majelis Konstituante pada tahun 1956-1959. Di forum itu, terdapat dua
perseteruan antara kelompok Islam dan kelompok kebangsaan atau nasionalis
sekular.
Bagi Nurcholis Madjid, ide negara Islam merupakan kecenderungan
apologetis berhadapan dengan ideologi-ideologi modern Barat seperti demokrasi,
sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Apologi terhadap ideologi-ideologi
modern ini menimbulkan adanya apresisasi atas Islam yang bersifat
ideologis-politis, dan dengan demikian membawa kepada cita-cita negara Islam,
sebagaimana juga ada negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis dan
seterusnya. Menurut Nurcholis, apologi merupakan kompensasi bagi rasa rendah
diri berhadapan dengan kehidupan modern yang didominasi oleh pola kehidupan
Barat. Maka melalui apresiasi yang bersifat totaliter terhadap Islam, para
aktivis Islam ingin membuktikan bahwa Islam ternyata[23].
Padahal kalu lihat sejarah peluralisme telah mencapai puncak
dizaman paraw wali song. Yang telah dihancurkan oleh bangsa penjajah, akan
tetapi jiwa peluralismenya masih ada sampai saat ini.betapa hebatnya pemikiran
dan pewarisan teradap keturunan sehingga masyarakat bangsa ini tetap
menjungjung tinggi persatuan.
Fikih Pluralisme dalam Perspektif Ulama NU
Dalam konteks Indonesia, posisi ulama masih dianggap sebagai
barometer pandangan masyarakat apakah sebuah ajaran sosial seperti paham
pluralisme maupun lainnya bisa diterima sebagai konstruksi sosial yang dapat
melengkapi semangat keberagamaan atau justru ditolak lantaran dianggap sebagai
bentuk reduksi sosial yang bisa mengancam keberagamaan ummat Islam. Ulama
menjadi garis penghubung yang bisa menjembatani proses transformasi sebuah
ajaran sosial dalam kehidupan masyarakat.
Namun demikian, di tengah kerasnya penolakan pluralisme yang
dilakukan oleh ulama tertentu yang berdiri pada bagian kelompok muslim radikal,
ditambah lagi dengan dan mencuatnya fatwa pengharaman MUI terhadap paham
pluralisme, ulama NU bisa tampil sebagai bagian kelompok yang berbeda dengan
cara pandang mereka, dan menerima paham pluralisme sebagai keniscayaan yang
perlu diakui bersama.
Melalui beberapa ulama yang berpemikiran progresif, pluralisme
dianggap sebagai sunnatullah yang patut ditegakkan di tengah iklim kehidupan
Indonesia yang heterogen. Posisi NU yang responsif terhadap pluralisme tidak
lepas dari dua aspek, pertama, paham aswaja yang meliputi empat kriterium
seperti tawassuth, tasamuh, tawazun, dan ta’adul menjadi landasan ideologi NU
dalam membangun hubungan sosial secara lintas batas tanpa menihilkan kelompok
tertentu yang minoritas. Kedua¸kearifan lokal yang menjadi strategi dakwah NU
menjadi pintu masuk bagi penerimaan pluralisme yang di dalamnya mempunyai
berbagai tradisi yang perlu diakomodasi guna meneguhkan prinsip “kerahmatan”
dan menyemai kedamaian dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, posisi mayoritas
dan minoritas tidak dipertentangkan dalam hubungan yang sub-ordinat melainkan
bisa digerakkan secara harmonis.
Kehadiran ulama NU yang
berpikiran progresif seperti KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ali Yafie, dan KH. Ali
Mustfa Ya’qub yang menerima pluralisme sebagai sunnatullah dan
mengindoktrinasikannya sebagai mekanisme sosial dalam menyemai semangat
keberagamaan yang kosmopolitan, menjadi bukti empiris bahwa paham pluralisme akan
tumbuh baik di Indonesia. Apalagi, dalam salah satu rumusan pilar kebangsaan
yang ditetapkan oleh MPR, terdapat adagium “bhinneka tunggal ika” sebagai
semboyan Negara, sepadan dengan paham pluralism yang bisa memperkuat sendi
kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, masing-masing pihak perlu mengaplikasikan paham
pluralism tersebut dalam kehidupan nyata.Supaya, dalam kemajemukan setiap orang
bisa belajar menghargai perbedaan, belajar menerima kenyataan, belajar
memberikan spirit kebersamaan, guna tegaknya kehidupan yang damai.
Implikasinya, ketika kesadaran pluralistik dapat termanifestasi dengan baik
dalam kesadaran teologis ummat beragama, akan berdampak kepada kesadaran
sosiologis yang menganggap semua kalangan, baik yang mayoritas lebih-lebih yang
minoritas sebagai satu kesatuan persaudaraan yang berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah. Sehingga, iklim demokratis yang salah satu prinsip dasarnya adalah
memberikan apresiasi akan bisa tercipta dengan baik. Semoga kehadiran ulama NU yang
mampu membingkai pemahaman keagamaan yang terbuka melalui paham aswaja yang
meliputi: tawasuth, tasamuh, tawazun, dan ta’adul dapat menginspirasi ulama di
kelompok lain, sehingga semua pihak menjadi kekuatan untuk membangun Indonesia
yang lebih baik. [24]
Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam (Pendekatan Fungsional)
Dalam konteks kajian Adat dan Islam, salah satu tulisan yang
menggunakan teori fungsional ini dalam melihiat dialektika antara Islam dan
budaya lokal adalah Noel James Coulson. Dalam tulisannya berjudul Muslim Custom
and Case Law, Coulson berpendapat bahwa Islam dan budaya local berkolaborasi
dalam memutuskan kasus hukum di beberapa kawasan yang mayoritas Penduduknya
adalah Muslim. Kolaborasi ini dicontohkan oleh Coulson seperti beberapa masyarakat
yang mayoritas anggotanya adalah beragama Islam, diantaranya adalah Masyarakat
Muslim Marocco, India, Tunisia, masyarakat Kabylie di Algeria, masyarakat
Youruba di Nigeria, Yaman, dan masyarakat Jawa. Di Indonesia, ada beberapa
pakar hukum Islam dan hukum Adat mengkaji ulang mengenai desas-desus antara
Hukum Adat dan Islam. Namun, kajian belakangan ini lebih condong melihat kedua
budaya hukum itu dari sisi kompromitas atau harmonitas antara ketiga sistem
hukum itu. Misalnya, Taufik Abdullah melihat bahwa masyarakat Minangkabau
mempraktikkan hukum Adat dan hukum Islam secara bersamaan sehingga lebih
membahasakannya sebagai intraksionis antara hukum Adat dan hukum Islam atau dua
menara hukum (mimbar hukum). Ratno Lukito melihat secara umum masyarakat Muslim
Indonesia mempraktikkan ketiga hukum itu secara bergumulan, sehingga dalam
pembuatan hukum, Negara harus mampu mengkanter hukum adat dan hukum Islam.Beberapa
tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Hasby melalui konsep Fiqih Indonesia-nya
telah berusaha untuk melibatkan hukum Adat sebagai bagian dalam mengambil
istinbat dalam hukum Islam yang berbasis masyarakat Muslim Indonesia, sehingga
dalam pembuatan hukum Negara, Negara harus mengakomudir kedua hukum itu.
Ratno mengatakan, Sehubungan dengan harmonisasi ini Hasbi sempat
membangun argumentasi melalui wacana besarnya yakni “Fiqih Indonesia”, Inti
dari wacana besarnya ini adalah merevormasi fiqih syafi’i yang bercorak Hijazi
atau Misri dan berkarakter masyarakat Mesir menjadi fiqih Indonesia yang
bercorak keIndonesiaan dan berkarakter masyarakat Indonesia itu sendiri. Tentu
saja revormasi hukum Hasbi harus berdasarkan penggalian dan pengembangan dari
empat mazhab terkemuka (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Sedangkan
Hazairin dalam wacana besarnya yakni “Mazhab Nasional Indonesia”, berkeinginan
membangun mazhab nasional berdasarkan pembaharuan dari mazhab Syafi’i
berdasarkan kondisi local masyarakat Indonesia. Ratno Lukito menyimpulkan, baik
Hasbi maupun Hazairin sepakat bahwa adat istiadat masyarakat Indonesia harus
menjadi pertimbangan dalam pembuatan Hukum Islam Indonesia, kedua ide ini
membuka jalan baru bagi bersatu padunya antara nilainilai yang berasal dari
adat istiadat dengan hukum Islam untuk menciptakan atmosper harmoni dalam satu
entitas hukum.[25]
Pluralisme Hukum Keluarga
Pada Masa Kolonialisme
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, ada beberapa kebijakan hukum
yang dikeluarkan untuk menyelesaikan permasalahan keperdataan, tidak terkecuali
bagi hukum keluarga. Molukse Huwelijken Reglement yang diberlakukan kepada
masyarakat Manado, Ternate, dan Ambon. Pada tahun 1937 diberlakukan S. 1933 No.
74 kepada masyarakat lingkup Jawa dan Madura setelah mengalami berbagai
perubahan. Pada dasarnya semua Reglement ini mengatur tentang perkawinan
masyarakat yang beragama Kristen, baik tentang syarat perkawinan, pendaftaran
perkawinan, hingga perlangsungan perkawinan. setelah berlakunya S. 1898 No. 158
mengenai perkawinan campuran, maka secara otomatis peraturan sebelumnya sudah
tidak diberlakukan lagi. Namun yang menarik dari semua ini, seperti yang
ditulis oleh Soetojo, pada dasarnya semua peraturan di atas mengatur tentang
hukum formilnya, namun sama sekali tidak mengatur tentang hukum materilnya,
semua yang berbau materil semua dikembalikan kepada hukum adat masing-masing
daerah. Berdasarkan pasal 161 I.S. penduduk Hindia Belanda dibagi menjadi
beberapa golongan, diantaranya: Penduduk Golongan Europa, Penduduk Golongan
Bumi Putra, dan terakhir adalah Kelompok Golongan Timur Asing. Ini diperjelas
lagi dengan beragamnya jenis pengadilan yang diadakan oleh pemerintahan Hindia
Belanda, ada pengadilan khusus bagai masyarakat Eropa yang disebut sebagai
European Courts, pengadilan Adat khusus masyarakat Pribumi yang disebut Native
Courts, dan pengadilan Umum khusus masyarakat Campuran yang mengurus tentang
administrasi keagamaan. Pada penjelasan di atas, sangat terlihat begitu beragam
hukum yang diberlakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda bagi masyarakat yang
mendiami kepuluan Nusantara. [26]
Pluralism Hukum Keluarga Pada Masa Kemerdekaan
Setelah bertahun-tahun
masyarakat Indonesia membenahi sistem ketata negaraannya, bangsa Indonesia
kemudian berhasil melakukan transformasi hukum keluarga dari sistem hukum
bercorak civil law yang diwarisi oleh kolonialisme Belanda, menuju sistem kodifikasi
dan unifikasi hukum melalui mekanisme check and balances. Sejak inilah kemudian
muncul pekerjaan rumah terbesar Negara, yakni menciptakan undang-undang yang
berpihak kepada masyarakatnya. Sehingga, Pada tahun 1974, Negara berhasil
melegalkan Undang-Undang No. 1 (satu) tentang Perkawinan meskipun sedikit
mengandung kepentingan beberapa kalangan. Setelah Undang-Undang perkawinan ini
dilegalkan oleh Negara, ternyata ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak
setuju dan belum siap untuk mengimplementasikan legal substantif dari
Undang-Undang perkawinan Itu. Implikasi dari ini, maka terjadilah rangkap hukum
perkawinan yang dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia, diantaranya: Hukum
Adat,39 Hukum Islam,40 dan Hukum Negara,41 meskipun beberapa kalangan berasumsi
bahwa UUP No. 1 tahun 1974 merupakan hasil kodifikasi dan unifikasi
mazhab-mazhab fikih di Indonesia, namun ini semua sangat sulit diterima oleh
beberapa kalangan masyarakat Islam di Indonesia. Tindakan masyarakat ini
kemudian yang memacu terjadinya pluralisme hukum gaya baru di Indonesia yang
berbasis relalifisme kelompok dalam mempraktikkan hukum positif di Indonesia, dalam
arti bahwa setiap kelompok masyarakat mempraktikkan perkawinan berdasarkan
kepercayaan (Agama), kebudayaan (Adat), dan ketentuan Negara. Kelompk Agamawan
mempraktikkan proses perkawinan berdasarkan ajaran atau hukum masing-masing
agamanya, kelompok budayawan (Masyarakat Adat) mempraktikkan proses perkawinan
itu berdasarkan ajaran dan hukum adatnya masing-masing, sedangkan kalangan Nasionalis
dan masyarakat perkotaan melaksanakan perkawinan itu berdasarkan ketentuan dari
Negara. Seiring dengan isu-isu globalisasi yang semakin deras, Negara pun
secara dramatis menginginkan masyarakat Agamawan dan masyarakat Budayawan
mematuhi undang-undang perkawinan itu.
dikarenakan oleh keragaman dan ketidak konsistenan suatu masyarakat
dalam mempraktikkan budaya yang sudah ada, sehingga akan digantikan secara
langsung oleh kebudayaan yang baru, maka akan terjadi apa yang disebut oleh
para ahli sebagai evolusi kebudayaan atau mungkin perubahan kebudayaan (Culture
Chance). Sebelum Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini dibuat,
ada aturan yang sangat menarik mengenai perlindungan dan pemberlakuan hukum
adat dalam perundang-undangan di Indoensia. Aturan ini misalnya dapat dilihat
pada Undang-Undang No. 14 tahun 1970 (L.N. 1970. No. 74), peraturan ini
mengatur tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Seiring dengan
ini, Ihrom menjelaskan dalam tulisannya berjudul “Adat Perkawinan Toraja Sadan
dan Tempatnya dalam Hukum Positif Masa Kini” mengatakan bahwa pasal 71 ayat 1
dalam penjelasannya (T.L.N. No. 295, tahun 1970) mengatakan “Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.44 Undang undang ini sangat jelas menghendaki
bahwa hukum Adat mendapatkan porsi dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia, namun setelah disahkannya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
hukum adat tidak mendapatkan porsi legalitas sedikit pun dalam peraturan
perundang-undang Indonesia. Setelah UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 disahkan, ternyata hukum adat tidak
mendapatkan porsi yang cukup dalam perundang-undangan, namun pluralism hukum di
Indonesia semakin terasa ketika Negara menjadikan Agama salah satu unsur
penting dalam sahnya suatu perkawinan masyarkat Indonesia. Sehingga, secara
tidak sadar Negara telah mendorong terjadinya Pluralisme hukum di
masyarakatnya, dalam masyarakat yang lebih mendominankan perkawinan agama lebih
memberikan perhatian spesial terhadap pernikahan agama dari pada pernikahan
yang bernuansa Negara.45 Salah satu pasal yang memacu terjadinya pluralism
hukum adalah pasal tentang pembagian harta bersama (permbagian harta setelah
perceraian), pasal ini mengatur bahwa setiap pembagian harta bersama setelah
perceraian dilakukan berdasarkan hukum masing-masing mempelai.[27]
NILAI-NILAI
PANCASILA
1)
Membumikan Persatuan dalam Kerangka Pancasila
Indonesia
adalah sebuah negara besar yang mewadahi warisan kejayaan peradaban Nusantara
dan kerajaan-kerajaan bahari tersebar di muka bumi. Oleh sebab itu sangatlah penting untuk
menyadari bahwa alasan utama lahirnya bangsa ini adalah adanya kesadaran
bersama dan kepentingan bersama untuk hidup rukun. Seperti yang dinyatakan oleh
Yudi Latif bahwa dalam mentransformasikan ke-KAMI-an menuju ke-KITA-an,
diperlukan sikap positif dan prasangka baik. Kerja sama dan sikap saling
memercayai serta itikad baik masing-masing komunitas,yang diperkuat oleh
jalinan gotong royong secara fungsional antara pelbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan
yang ada merupakan segi penunjan efesiensi demokrasi dalam suatu masyarakat
multikultur. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
2)
Makna dan aktualisasi sila Persatuan Indonesia dalam pembangunan
sosial budaya
Menurut Kaelan dalam praktek tumbuh dan berkembangnya
persatuan suatu bangsa terdapat dua aspek kekuasaan yang mempengaruhi yaitu
kekuasaan pisik (lahir) atau disebut juga kekuasaan materialis yang
berupakekerasan dan paksaan. Kekuasaan idealis yang berupa nafsu psikis, moral,
ide-ide dan kepercayaan-kepercayaan. Proses nasionalisme (persatuan) yang
dikuasai oleh kekuasaan fisik akan tumbuh berkembang menjadi bangsa yang
bersifat materialis. Sebaliknya proses nasionalisme yang dalam pertumbuhannya
dikuasai oleh kekuasaan bathin (kejiwaan) maka Penguatan Integrasi Nasional di
Era Disrupsi dalam Perspektif Pancasila akan tumbuh berkembang menjadi negara
utopis idealis yang jauh dari realitas bangsa dan negara oleh karena itu bagi
bangsa Indonesia prinsip-prinsip persatuan itu tidak bersifat berat sebelah,
namun justru merupakan sintesis yang serasi dan harmonis baik hal-hal yang
bersifat lahir maupun hal-hal yang bersifat bathin. Prinsip tersebut adalah
yang paling susuai dengan hakikat manusia yang bersifat monopluralis, yang
terkandung dalam Pancasila.[28]
Kesimpulan
Empat konsep pluralisme merupakan rangkaian pemikirannya sebagai wujud
pengetahuan yang benar-benar digali secara empiris, kesadaran pada hakikatnya
memiliki kejenuhan ketika meraka tidak menemukan jati dirinya sebagai hamba,
itulah sebabnya agama sebagai lembaga yang suci dan sakral selalu membuka diri
dan memberikan pencerahan kepada penganutnya untuk menjawab semua permasalahan.
Kesalahan manusia dalam mempresepsikan agama sering mengalami distorsi, bahkan
tereduksi dari nilai, akibat pemahaman yang sempi dan doktrin yang berlebihan dan
selalu ditumpangi kepentingan politik sehingga bertentangan dengan konsep
pluralisme agama. Padahal dalam tataran eksoterik dan esetorik, serta preni
(Perennial Philosophy), merupakan toleransi dan jalan kemanusian (humanistik)
secara universal agama, dan yang paling mendasar adalah roh atau substansi yang
suci terhadap dalam ajaran agama atau disebut spiritualitas agama.
Islam telah dengan jelas memberikan petunjuk hidup melalui al Quran
dan Hadits, sebagai pedoman bagi masyarakat plural. Pluralisme bukanlah
penyamaan agama, namun lebih kepada pemahaman atas legitimasi setiap agama yang
berbeda dengan Islam. Sikap menghargai dan memahami orang lain yang berbeda
agama akan melahirkan toleransi dan kasih sayang yang kuat atas sesama manusia
(ukhuwah basyariyah). Sedangkan islam adalah agama yang humanisme peraktisi dan
peragmatis sehngga dapat kita wujudkan denganmengambil nilai profetik
modernisasi serta menjadikan pancasila sebagai identitas bangsa. Sehingga akan
terbentuk masyarakat Islam Indonesia yang memiliki karakter toleran, fleksibel,
dinamis dan rasional.
Baca Juga :
Makalah Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Makalah Ingkar Sunnah Dan Sejarah Perkembanganya
Baca Juga :
Makalah Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Makalah Ingkar Sunnah Dan Sejarah Perkembanganya
Daftar Pustaka
Alwi Shihab. Islam Inklusif menuju sikap terbuka dalam
beragamagama, (Mizan, Bandung:1999)p.
A. Mustofa Bisri dkk, Islam Mazhab Tengah Persembahan 70 Tahun
Tarmizi Taher (Grapindo Khazanah Ilmu, Jakarta:2007)
Faisal Ismail, Dinamika Kerukunana Antaraumat Beragama (Remaja
Rosda Karya, Bandung:2014)
M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. Setudi Islam Perespektif
Insider/Outsider (Ircisod, jogjakarta: 2013)
Zaky Ahmad Rivai, Islam Gak Liberal, ( Gema Insani, Jakarta
:2015 )
BAHAYA PLURALISME AGAMA (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan
Islam terhadap paham Pluralisme Agama) OLEH : DR. ADIAN HUSAINI (Doktor
Peradaban Islam dari ISTAC-International Islamic University Malaysia/ Ketua
Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Fathorrahman Fikih Pluralisme dalam Perspektif Ulama NU Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta
AL QURAn menJAwAB tAntAngAn PLURALISme teRhAdAP keRUkUnAn UmAt
BeRAgAmA Nury Firdausia Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Maliki
Malang,
ISLAM DAN PLURALISME M. SYAIFUL RAHMAN Pascasarjana STAIN Pamekasan
PLURALISME HUKUM (ADAT DAN ISLAM) DI INDONESIA Murdan Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta
55281
A. Mustofa Bisri dkk, PANCASILA SEBAGAI SPIRIT PLURALISME KEBERAGAMAN
BANGSA Mirwan Fikri Muhkam, Muh. Khaedir Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
[1] A. Mustofa
Bisri dkk, Islam Mazhab Tengah Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher (Grapindo
Khazanah Ilmu, Jakarta:2007) p26
[2] ISLAM DAN
PLURALISME M. SYAIFUL RAHMAN Pascasarjana STAIN Pamekasan
[3] Zaky Ahmad
Rivai, Islam Gak Liberal, ( Gema Insani, Jakarta :2015 ) p 20
[4] ISLAM DAN
PLURALISME M. SYAIFUL RAHMAN Pascasarjana STAIN Pamekasan
[5] BAHAYA
PLURALISME AGAMA (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham
Pluralisme Agama) OLEH : DR. ADIAN HUSAINI (Doktor Peradaban Islam dari ISTAC-International
Islamic University Malaysia/ Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas
Ibn Khaldun Bogor)
[6] BAHAYA
PLURALISME AGAMA (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham
Pluralisme Agama) OLEH : DR. ADIAN HUSAINI (Doktor Peradaban Islam dari
ISTAC-International Islamic University Malaysia/ Ketua Program Doktor
Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)
[7] AL QURAn
menJAwAB tAntAngAn PLURALISme teRhAdAP keRUkUnAn UmAt BeRAgAmA Nury Firdausia
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang,
[8] ISLAM DAN
PLURALISME M. SYAIFUL RAHMAN Pascasarjana STAIN Pamekasan
[9] Dr. Alwi
Shihab. Islam Inklusif menuju sikap terbuka dalam beragamagama, (Mizan,
Bandung:1999)p. 41
[10] ISLAM DAN
PLURALISME M. SYAIFUL RAHMAN Pascasarjana STAIN Pamekasan
[11] ISLAM DAN
PLURALISME M. SYAIFUL RAHMAN Pascasarjana STAIN Pamekasan
[12] A. Mustofa
Bisri dkk, Islam Mazhab Tengah Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher (Grapindo
Khazanah Ilmu, Jakarta:2007) p192
[13] ISLAM DAN
PLURALISME M. SYAIFUL RAHMAN Pascasarjana STAIN Pamekasan
[14] M. Arfan
Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. Setudi Islam Perespektif Insider/Outsider
(Ircisod, jogjakarta: 2013) p 477
[15] Faisal Ismail,
Dinamika Kerukunana Antaraumat Beragama (Remaja Rosda Karya, Bandung:2014) p 2
[16] A. Mustofa
Bisri dkk, Islam Mazhab Tengah Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher, p27
[17] AL QURAn
menJAwAB tAntAngAn PLURALISme teRhAdAP keRUkUnAn UmAt BeRAgAmA Nury Firdausia
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang,
[18] A. Mustofa
Bisri dkk, Islam Mazhab Tengah Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher ,p193
[19] AL QURAn
menJAwAB tAntAngAn PLURALISme teRhAdAP keRUkUnAn UmAt BeRAgAmA Nury Firdausia
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang,
[20] M. Arfan
Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. Setudi Islam Perespektif Insider/Outsider
(Ircisod, jogjakarta: 2013) p 477
[21] AL QURAn
menJAwAB tAntAngAn PLURALISme teRhAdAP keRUkUnAn UmAt BeRAgAmA Nury Firdausia
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang,
[22] AL QURAn
menJAwAB tAntAngAn PLURALISme teRhAdAP keRUkUnAn UmAt BeRAgAmA Nury Firdausia
Pendidikan Agama Islam,
[23] AL QURAn
menJAwAB tAntAngAn PLURALISme teRhAdAP keRUkUnAn UmAt BeRAgAmA Nury Firdausia
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang,
[24] Fathorrahman Fikih
Pluralisme dalam Perspektif Ulama NU Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta
[25] PLURALISME
HUKUM (ADAT DAN ISLAM) DI INDONESIA Murdan Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
[26] PLURALISME
HUKUM (ADAT DAN ISLAM) DI INDONESIA Murdan Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
[27] PLURALISME
HUKUM (ADAT DAN ISLAM) DI INDONESIA Murdan Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
[28] PANCASILA
SEBAGAI SPIRIT PLURALISME KEBERAGAMAN BANGSA Mirwan Fikri Muhkam, Muh. Khaedir
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
Komentar
Posting Komentar